Sayangnya hari libur tidak selalu menyenangkan untuk semua orang. Sejak dimasukkan kakaknya ke kamar itu Bram tidak mau keluar sama sekali. Ia kunci pintu dan menutup tirai jendela sampai membuat suasana kamar yang sebenarnya masih pagi terasa seperti sudah tengah malam. Selama itu ia menolak melihat jam dan hanya tiduran sambil mendengar musik lewat headphone.
Di dalam kepalanya ia hanya membayangkan wajah Rena yang mulai memudar.
“Aish, Pak Tara ini udah dibilangin jangan terlalu baik sama semua cewek. Nanti kalau kamu menikah bisa-bisa nanti banyak yang ngegeruduk resepsimu lho karena ngerasa cuma di PHP-in.”
Ia sudah berkali-kali menjalin hubungan dengan lawan jenis dan seharusnya cukup mudah untuk jatuh cinta. Tapi, kenyataannya tidak. Bram atau Tara belum pernah jatuh cinta seumur hidup. Ia tidak mengerti seperti apa itu cinta dan bagaimana tipikal cinta yang seharusnya diperjuangkan. Selama ini ia merasa dirinya hanya seperti sehelai bulu unggas yang terbang tak tentu arah mengikuti angin yang berhembus entah ke mana.
Benar-benar kosong. Hitam. Kelam. Suram. Hampa. Tidak berjejak. Tidak protes. Tak ada progres.
“Rena, andai aja kamu lebih tanggap menyikapi perasaanku. Mungkin aku sekarang nggak akan segundah ini,” keluhnya.
Tiba-tiba benak merespon, lha, kenapa kamu malah menyalahkan orang lain, Bramantara? Rena itu perempuan. Kalau ada yang mau kamu salahin ya salahin dirimu sendiri, lah. Karena pengecut, kurang peka, suka mengasihani diri sendiri, lemah, nggak bisa move on dari masa lalu buruk, dan lain sebagainya.
“Iya, sih. Tapi kan kalau saja Rena bisa lebih…”
Lebih apa? Hidup dia bisa jadi lebih berat dari yang kamu alami sekarang. Iya, Bramantara, iya, kamu punya hal sangat buruk yang terjadi di masa lalumu. Tapi, hidup masih harus terus berjalan.
Kamu udah terlanjur banyak omong dan kasih janji manis ke perempuan malang itu dan sekarang kamu malah meragukan dirimu sendiri lagi?