TTM

Arslan Cealach
Chapter #34

Dalam Kenyataan Kita Hidup

Usai sholat ia sengaja melama-lamakan dzikir dan doa yang dipanjatkan agar makin kuat saat harus menghadapi apa yang akan terjadi. Termasuk alasan Atma membawanya ke tempat ini. Villa yang tak pernah mau ia datangi lagi semenjak ayahnya memutuskan untuk menikahi perempuan pelakor itu.

Ia selalu berusaha menjauhi semua hal yang membawa kenangan buruk untuknya. Tapi, tak seorang pun bersedia memahami. Terus saja berteriak memintanya menghadapi mimpi buruk itu meski seorang diri.

Klek. Ia buka pintu kamar ingin menuju ruang makan di lantai bawah. Tapi, adik tirinya yang sejak tadi duduk menunggu di sebuah chaise lounge berwarna hijau pinus yang ada di dekat sana tiba-tiba mengikuti dengan gerakan mengganggu.

“Mas Bram, Mas Bram, Mas Bram,” panggil Cakra secara impulsif.

Bram berusaha tetap pada pendirian untuk tak lagi terpengaruh dengan tingkah anak haram itu. Atma benar. Apa pun respon yang ia beri pada tindakan Cakra hanya akan membuatnya makin senang dan merasa menang. Ia harus tetap tenang karena hanya itu satu-satunya cara menghadapi kegilaan. Apalagi kalau yang wujudnya manusia seperti anak sialan di sampingnya.

Sampailah ia di ruang makan. Beberapa hidangan khas Sunda sudah tersaji di atas meja yang berbentuk persegi panjang dan berwarna putih. Sesuai dengan design interior villa itu yang didominasi unsur kayu bercat gabungan putih dan hijau toska. Membuat suasana terasa tenang dan menyegarkan mata. Sangat cocok dipakai sebagai tempat istirahat dari penatnya kehidupan di kota besar.

“Makanan Sunda, ya. Jadi ingat kejadian hari itu,” ucapnya sambil mengambil nasi liwet, beberapa jenis lalapan, sambal, tahu tempe serta tidak lupa pepes ikan.

“Den Cakra, ini wedang jahenya,” ucap seorang ART yang dibawa dari kediaman utama mengantarkan pesanan anak itu ke atas meja.

“Makasih ya, Bi,” ucap Cakra.

Sebelum wanita itu pergi Bram berkata, “Aku juga mau, dong.”

“Baik, Den Bram.”

“Eh, Bi, Ayah kapan datang? Ini mau ada acara apa sih kok kalian kayaknya masak banyak di belakang?” tanyanya.

“Lhaaaa, Mas Bram belum tau kita mau ngapain? Nggak dikasih tau sama Mas Atma? Kasihan banget, sih,” ledek Cakra.

Tidak peduli, tidak peduli. “Oh iya ini Mas Atma mana?”

Wanita itu menjawab, “Den Atma lagi beli sesuatu, Den Bram. Kalau Tuan sama Nyonya…”

“Tuannya aja. Saya nggak peduli sama istrinya,” potong Bram.

Lihat selengkapnya