TTM

Arslan Cealach
Chapter #36

Luka Sampai Akhir Jiwa

Ayah Bram dan kakaknya Atma tiba di villa itu sekitar pukul lima lebih bersama istrinya diantar sebuah mobil mewah yang dikendarai oleh supir pribadi. Pertemuan lagi dengan putra keduanya setelah sekian lama tidak jumpa berlangsung dengan canggung bahkan sedikit bermasalah. Semua karena ia bahkan tak mau mengangkat wajah. Untuk melihat muka ibu tirinya yang memancing kemurkaan sang ayah.

Untung saja Atma selaku anak tertua segera tanggap mencegah situasi lebih buruk terjadi. Ia tenangkan ayahnya. Ia nasihati adiknya. Ia ciptakan ruang untuk keduanya agar tenang sekaligus meminimalisir konflik yang mungkin terjadi.

*

Di kamar Bram.

“Gue tau lu benci banget sama si Ernawati karena gue juga ngerasain hal sama. Tapi, respon lu bisa berusaha ditahan aja nggak sih biar nggak bikin masalah baru?” tanya Atma.

Bram yang berdiri menghadap jendela dan membelakangi kakaknya segera menjawab, “Nggak bisa, Mas Atma. Ada sesuatu dalam diriku yang nggak bisa dikendalikan sebagai respon atas pertemuan sama perempuan sialan itu.”

“Astaga Bramantara… Lu itu udah mau dua puluh tujuh tahun. Kenapa kelakuannya masih kayak anak kecil banget, sih?” tanya Atma yang berdiri di belakangnya dengan kesal.

Bram membalik tubuh untuk melihat kakaknya. Ia bertanya, “Emang menurutmu harusnya aku bersikap kayak gimana sih Mas Atma sebagai orang dewasa? Apa sebagai manusia dewasa lantas aku nggak boleh marah dan punya perasaan? Apakah sebagai orang dewasa aku harus terus bersikap seolah semua hal yang menggangguku nggak pernah ada dan itu semua hanya bagian dari putaran roda dunia?”

“Hahh…?”

“Sekali lagi, ya. Gila kamu, Mas Atma,” lanjutnya.

Greph. Atma mencengkram kedua lengan atas sang adik. Menjawab, “Menjadi dewasa berarti berusaha menyesuaikan diri dengan aliran hidup yang dinamis dan nggak pernah bisa ditebak. Gue ngerti lu marah karena gue juga ngerasain hal sama bahkan mungkin berkali lipat jauh lebih luar biasa dari yang bisa lu bayangkan. Tapi, bukan begitu cara dunia berputar, Bram. Dunia nggak akan pernah peduli sama siapa pun lu atau apa yang lu inginkan atau tidak. Dunia akan terus kasih kita masalah dan tugas kita adalah membiasakan diri sama hal itu. Itu salah satu bentuk kedewasaan.”

Bram menghela nafas dalam dan menutup kedua mata dengan satu telapak tangan. Ia membalas, “Ucapanmu benar, Mas Atma. Aku nggak akan menyangkalnya. Hanya aja ada sesuatu yang nggak kamu pahami tentang diriku.”

“Makanya ngomong, bangsat!” balas Atma kesal sambil beranjak duduk di bagian tengah tempat tidur.

“Aku nggak bisa. Aku hanya ingin kamu mengerti kalau nggak peduli sebenar dan sebijaksana apa pun ucapanmu padaku. Aku nggak akan bisa mengaplikasikannya seperti yang kamu harapkan. Karena kita berbeda dalam banyak hal.”

Lihat selengkapnya