“Mas… Padahal Mas Atma sendiri seringkali nemuin aku hanya untuk ngelampiasin kemarahan Mas Atma sama keadaan keluarga kita. Tapi, bahkan setelah semua yang kulakukan untuk jadi adik yang baik buatmu. Mas Atma ternyata nyimpan pandangan sepicik itu soal aku. Sebenarnya apa lagi yang harus aku lakukan sih biar benar di matamu?
“Terus, terus kemarin tiba-tiba Mas Atma bawa aku ketemu sama keluarga Ayah. Ditambah diam-diam ternyata punya rencana buat jodohin aku. TANPA aku sendiri ketahui apa pun soal itu. Sebenarnya Mas Atma dan Ayah sendiri anggap aku sebagai apa, sih? Aku ini beneran keluarga kalian bukan, sih?
“Bertahun-tahun aku berjuang keras buat bikin perasaanku sendiri terasa lebih baik DENGAN segala cara, Mas Atma. Semua aku korbankan HANYA agar masih mau bertahan hidup satu hari lagi. Tapi, coba biar aku tebak apa yang akan Mas Atma pikir setelah mendengar semua ini. Menurut Mas Atma aku pasti laki-laki lemah, ‘kan? Seseorang yang gak bisa berjuang dan nggak punya etos sama sekali untuk pertahankan sesuatu yang harusnya jadi miliknya.
“Biar aku jelasin ke kamu, Mas Atma. Aku emang nggak punya semua itu. Seumur hidup nggak pernah sedetik pun aku mikir diriku yang lemah ini punya kemampuan menyamai tekad dan kekuatan mentalmu. Aku emang laki-laki nggak berguna, Mas Atma. Aku emang manusia nggak berguna.”
“Lu pasti beneran udah gila, Bram,” ucap Atma tak percaya sambil menatap adiknya di atas ranjang. Dengan tatapan datar tanpa antusiasme. Seolah semua yang sedang terjadi hanya mimpi.
Bram atau Tara langsung berteriak, “EMANG! AKU INI EMANG GILA. NGGAK PERNAH SEDETIK PUN DALAM HIDUPKU AKU NGERASA WARAS DAN NORMAL, MAS ATMA.
“Aku selalu ketakutan saat pulang ke tempat tinggalku sendiri. Membayangkan akan ada kamu yang membuat malamku jadi jauh lebih gelap. Tapi, setelah aku pikir lagi ternyata bukan itu alasannya. Aku hanya selalu jadiin kamu sebagai pelampiasan akan kemarahan dan kebencianku sama sesuatu yang lain dalam keluarga kita yang aneh.