Tak sedikit pun kebahagiaan bisa Rena rasakaan setelah apa yang terjadi antara dirinya dan Tara. Sejak itu juga tak sekalipun ia pernah menyaksikan keberadaan pria itu. Membuat kecemasannya yang sudah parah jadi makin tak terkendali. Lahirkan beragam imajinasi serta asumsi. Ia juga terlalu takut mengajak bicara pegawai kantor Tara untuk mencaritahu kondisi pria itu.
Sedih. Sedih. Sedih.
Bingung. Bingung. Bingung.
Menyesal. Menyesal. Menyesal.
Setelah mengetahui “faktanya” dari wanita asing itu. Awalnya ia pikir ia akan bahagia usai memutus hubungan dengan Tara. Tapi, teryata semua hanya ilusi karena yang ia rasakan kini hanya nestapa. Sedih karena khawatir sudah membuat Tara sedih. Sedih jika ternyata bagaimana jika yang wanita sintal cantik itu katakan soal Bram tak sepenuhnya benar?
Tekanan akibat depresi dan paranoid perihal masalah keluarga juga benar-benar membuat kebahagiaan sepenuhnya sirna dari diri Rena. Serangan kecemasan yang makin tak terkendali membuat semua hal jadi bertambah kacau. Jika tetap seperti ini, tak diragukan lagi akan turun surat sakti pemutusan hubungan kerja dari atasan tercinta.
Air mata akan menetes tiap kali ia mengingat semua kenangan satu tahun terakhir bersama Tara. Tara yang seorang malaikat. Tara yang seorang pria paling baik dan menyenangkan yang pernah ada dalam hidupnya.
*
Hingga tibalah malam ini. Jantung Rena berdetak tidak karuan dan nafasnya langsung sesak saat melihat lampu kamar depan rumahnya menyala ditambah terdengar suara perempuan yang sedang asyik mengobrol di telpon.