Atma sudah melepas seluruh jabatan mentereng di perusahaan sang ayah dan sedang berjuang memperoleh kebebasan lahir batin sebagai manusia dengan mendirikan perusahaannya sendiri. Tentu masih kecil dan terkesan remeh. Hanya sebuah brand warung makan mie pedas kekinian. Tapi, itu adalah pekerjaan yang ia rasa cocok untuk membenahi mentalnya yang sempat ikut rusak akibat tragedi keluarga tiga tahun silam.
Terlalu sakit untuk membayangkan semua yang telah adiknya alami. Itu kenapa demi membantu Bram sembuh, ia tak pernah lupa menjenguk pria yang kini berusia 29 tahun itu di rumah sakit jiwa. Ia juga tak peduli lagi pada sang ayah dan keluarganya. Ia memutuskan hubungan dengan pria itu dan tak lagi memikirkan apa yang akan ia lakukan dengan harta dan keluarganya.
Tuhan adalah makhluk pembalas dendam. Jauh lebih pembalas dendam daripada dirinya. Karena itu tak seharusnya ia repot-repot memikirkan bagaimana cara mencari keadilan. Ia hanya perlu mencari cara untuk jadi hamba yang menjalankan perintah-Nya dengan baik. Ia hanya perlu mencari cara untuk ikhlas dan damai.
*
“Shakilla!” panggil Atma pada seorang perempuan kurus dan tinggi yang baru saja memasuki bagian depan cabang terbaru rumah makan mie miliknya.
Wanita berhijab itu langsung membalas lambaian tangan Atma dan berlari ke arahnya. “Assalamualaikum, Pak Bos. Wah, gacor bener ya usaha Anda,” pujinya sambil sekilas mengamati interior dalam rumah makan itu yang sangat fancy sekaligus gaul di saat bersamaan. Memberi kesan berbeda dibanding brand warung makan mie pedas kekinian lain.
Sambil tersenyum rendah hati Atma membalas, “Alhamdulillah wasyukurillah, Shakilla. Sejauh ini dilancarkan sama Allah berkat kerja keras dan doa semua orang. Semoga bisa terus makin lancar, sih.”
Keduanya berjalan masuk menuju bagian belakang rumah makan itu yang lebih sepi.
“Jadi, gimana keadaan Bram, Kak?” tanya Shakilla setelah keduanya duduk.
“Alhamdulillah juga, sudah makin membaik. Dia udah mulai jarang histeris lagi dan semua kebutuhannya cukup terpenuhi lah di sana."
"Wah, alhamdulillah, alhamdulillah. Selama ada uang kayaknya semua emang bakal baik-baik aja, sih."
"Kamu sendiri gimana? Udah sejauh apa progres nulis cerita perjalanan hidup keluarga kami yang agak laen ini? Hahaha,” tanya Atma balik ditutup tawa.
Shakilla menjawab, “Alhamdulillah lancar, kok. Bram sangat komunikatif saat diajak bicara. Gimanapun juga kan dia temenku, Kak. Temen sebagai sesama orang gila.”
Atma merespon, “A, Agak gelap ya Anda bicaranya.”
“Hahaha, ya begitulah hidup. Lagian bisa-bisanya ya nasib mempertemukan aku sama adikmu di rumah sakit jiwa. Sementara kamu sendiri adalah mantan prospekanku waktu jadi sales executive di perusahaan future dulu. Agak laen sih emang hidup kita ya, Kak.”
“Iya ya, padahal aku gak mau ikut program emas gak jelas dari perusahaanmu. Tapi, kita malah bisa tetep temenan sampai sekarang.”
“Oh iya, kamu masih suka ditelponin sama perusahaanku dulu gak, Kak?” tanya Shakilla yang sudah keluar dari pekerjaan lucknut itu karena ulah beberapa atasan tidak punya otak yang malah hobi memanfaatkan, memfitnah, dan berhutang padanya hingga membuatnya mengalami depresi parah.