Banda Aceh, 2017.
Lapangan turnamen itu penuh dengan atlet berbaju taekwondo yang berwarna putih. Sabuk yang mereka kenakan di pinggang berbeda-beda warnanya. Fadhilah menyeruak di antara kerumunan atlet remaja sambil menarik lengan suaminya, Sahlan. Ia mencari anaknya yang akan bertanding malam nanti. Masih ada waktu empat jam lagi sebelum giliran anaknya tiba.
“Di mana Adam anak kita, Yah?”
Belum lagi suaminya menjawab, suara mengaduh terdengar dari sudut kanan mereka. Seorang anak lelaki mengerang kesakitan dan di sebelahnya ada seorang lelaki dewasa sedang menaruh es batu di wajahnya.
Darah Fadhilah langsung tersirap. Matanya membelalak terkejut melihat kondisi mata anak itu yang memar kebiruan. Ia tidak menyangka akibat dari sebuah pertandingan bisa menimbulkan kondisi separah itu. Diedarkannya pandangan ke sekelilingnya untuk mencari sosok anak sulungnya yang juga ikut turnamen ini. Alih-alih menemukan anaknya, ia malah melihat korban-korban lain yang berjatuhan. Rupanya ia sedang melewati area tenaga medis. Beberapa anak yang cedera akibat dari turnamen duduk di sekitar tempat itu sambil memulihkan luka-lukanya. Ada yang sedang membalut kakinya dengan perban, ada yang berbaring pasrah dengan memar di area tubuhnya, dan ada pula berguling sambil menekuk badan. Entah bagian mana yang sakit. Satu anak yang patah kakinya tampak sedang dinaikkan ke atas tandu. Jantung Fadhilah semakin berdebar kencang.
“Mak!” suara panggilan Adam membuatnya memalingkan wajah dari semua pemandangan itu.
Setengah berlari, Fadhilah menyongsong Adam dan memeluknya erat-erat. Beberapa teman yang berdiri bersamanya turut menyingkir.
“Adam! Ngeri kali Mamak lihat itu!” Fadhilah menunjuk ke arah para atlet cedera yang terlihat sangat menakutkan baginya. Lalu, seakan-akan baru terpikir, ia berkata, “Ayok, kita pulang ajalah, Nak! Pulang sama Mamak dengan Ayah sekarang!” desaknya.
Sekilas Adam melirik teman-temannya yang mendengarkan ucapan ibunya itu. Rasa malu yang tiba-tiba menyergap membuatnya melontarkan kalimat penolakan yang tegas.
“Mamak inilah, bikin malu aja. Adam udah besarlah, Mak. Udah kelas 2 SMA. Bukan anak-anak lagi!”
Adam menepis pegangan ibunya. Namun, Fadhilah kembali menarik lengan anaknya itu.
“Udahlah, Nak, nggak usah ikut turnamen ini. Takut Mamak nanti kau kenapa-kenapa.”
Tatapan Fadhilah jelas menyiratkan kecemasan yang sangat. Apalagi di hadapannya baru saja lewat seorang anak yang dibopong dengan pipi yang bengkak sebelah. Kakinya yang terpincang mengindikasikan adanya urat yang terkilir.
Saking cemasnya Fadhilah, ia sudah tidak melihat lagi rona di wajah anaknya yang semakin memerah karena malu.
“Jangan kekgitulah Mak! Malulah Adam dilihat kawan-kawan ni,” desisnya jengkel.
Teman-teman Adam pura-pura tidak mendengar apapun dan melihat ke tempat lain. Mereka masih menunggu Adam karena sebentar lagi akan ada briefing tim. Oleh karena ada orangtua Adam sedang berkunjung, mereka masih ikut menemani.
Sahlan yang mendengar perkataan anaknya itu merasa tidak nyaman. Belum pernah ia mengajarkan kepada anaknya untuk berkata tidak sopan kepada kedua orangtuanya dan kali ini ia merasa Adam sudah keterlaluan.
“Adam,” Sahlan maju selangkah ke arah Adam.
“Iya, Yah.”
“Sini ikut dulu, Ayah mau bicara.” Ia menyambar tangan Adam.
Fadhilah mengikuti langkahnya juga.
“Berdua saja, saya mau ngomong sama Adam.” Tatapan Sahlan menghentikan gerakan bibir Fadhilah yang seperti ingin mengatakan sesuatu.
Sahlan menarik Adam dari kerumunan orang ke sudut ruangan. Fadhilah tidak berusaha untuk mengikuti lagi karena ia berharap suaminya akan bisa membujuk Adam untuk membatalkan niatnya ikut turnamen ini. Wajah cemasnya terlihat jelas saat memperhatikan kembali salah satu atlet yang hidungnya berdarah-darah.
Di sudut yang sepi dari lalu lalang, Sahlan menatap mata anaknya dalam-dalam.