APA yang dapat diberikan seekor anjing kepada tuannya?
Seperti yang lumrah diketahui oleh makhluk kebanyakan, yang dapat diberikan seekor anjing adalah kesetiaan. Anjing selalu disimbolkan sebagai bentuk kesetiaan yang luar biasa, yang tak pernah meminta untuk dibalas. Karena kesetiaannya itu pula anjing dinobatkan sebagai sahabat terbaik manusia.
Ada banyak sekali kisah di dunia ini yang menceritakan kesetiaan seekor anjing. Hachiko, misalnya. Saya pernah mendengar kisah Hachiko dari anak perempuan mantan tuan saya. Waktu itu umurnya delapan tahun, sedangkan saya lima tahun. Namanya Jelita, dan dia anak perempuan yang pintar.
Sebelum tidur, Nona Jelita biasanya akan membaca satu cerita dari buku dongengnya. Saya yang berbaring di kaki ranjangnya akan mendengarkan ceritanya dengan sabar dan saksama, lalu setelah itu kami akan terlelap di dalam dunia mimpi yang luar biasa.
Di sebuah malam, waktu itu suasananya gerimis, Nona Jelita bercerita tentang cerita seekor anjing yang sangat setia kepada tuannya yang bernama Hachiko. Hachiko selalu setia menunggu kepulangan tuannya, Profesor Ueno, di Stasiun Shibuya. Suatu hari, seusai mengikuti rapat di kampus, Profesor Ueno meninggal dunia. Hachiko tidak tahu akan hal itu, dan tidak akan pernah tahu.
Hachiko terus saja menunggu wujud tuannya yang ia sayangi itu keluar dari pintu gerbong kereta. Menunggu tanpa pernah mempertanyakan kapan tuannya akan pulang.
Kisah Hachiko yang setia itu mengundang beribu air mata dan rasa haru bagi setiap orang yang mendengar ceritanya. Nona Jelita saja menangis setelah selesai membaca. Saya yang melihat beliau menangis, tentu tak kuasa. Saya langsung naik ke atas ranjangnya, dan berada di dekatnya.
Kedua kepalan tangannya yang kecil itu bersusah payah untuk menghapus air mata yang terus saja membasahi pipi bulatnya. Saya ingin sekali membantunya menghentikan air mata itu, tetapi saya tidak tahu cara seperti apa yang pantas. Seandainya saya adalah manusia, tentu saya akan menggunakan kedua tangan saya untuk membantunya menghapus air mata. Tetapi saya adalah seekor anjing. Maka yang saya lakukan adalah menjilat pipinya, dan menaruh telapak saya di pundaknya.
Nona Jelita yang melihat saya bertingkah begitu kemudian tertawa, lalu memeluk saya. Erat.
“Terima kasih.”
Sama-sama, jawab saya.
“Hachiko itu setia sekali, ya,” Nona Jelita tersenyum lembut. “Dia terus menunggu tuannya pulang.”
Iya, setia sekali dia, jawab saya.
“Sepertinya seluruh anjing di dunia ini sangat setia.” katanya lagi.
Saya tidak menjawab.
“Bagaimana bisa Hachiko terus menunggu kepulangan tuannya, sementara tuannya sudah meninggal? Kasihan sekali.” tangisnya semakin deras. Saya kembali menjilat pipinya. Beliau langsung tertawa.
Lalu beliau menatap mata saya. Bola matanya indah sekali, seperti pemiliknya.
“Kalau misalnya suatu saat nanti nasibku seperti Profesor Ueno, apakah kamu akan menjadi seperti Hachiko?” tanyanya. Mendengar pertanyaan yang begitu, saya kaget.
Bagaimana bisa pertanyaan yang seperti itu keluar dari mulut seorang anak berusia delapan tahun?
Saya terhenyak.
Meski Nona Jelita tak lagi menangis, tetapi bekas jejak air mata itu masih menempel di pipinya.
Saya kembali menjilat pipinya.
Beliau tertawa. Mengecup kepala saya.
Perlahan, kami berbaring di atas kasurnya yang hangat. Tak lama, kedua bola mata indah itu terkatup. Nona Jelita duluan terjun ke alam mimpi. Saya masih berada di dekapannya.
Nona Jelita adalah orang yang baik. Mungkin, satu-satunya orang baik di rumah yang megah itu. Hanya Nona Jelita yang bersedia untuk mengelus dan memeluk saya. Saya senang akan kehadirannya, meski kami tidak bisa sering bertemu karena beliau kebanyakan menghabiskan waktunya di rumah sakit.
Pertanyaan beliau melayang-layang di dalam benak saya.
Jika suatu saat Nona Jelita bernasib seperti Profesor Ueno, akankah saya menjadi Hachiko, yang terus menunggu kepulangan sang profesor meski yang dia tunggu itu tak lagi ada di dunia?
Tidak ada yang tahu. Bisa saja nasib saya dan Nona Jelita lebih indah dibandingkan Hachiko dan Profesor Ueno. Atau, malah lebih buruk.
Dua tahun kemudian, ternyata nasib buruk yang menjadi naskah kami.
Saya menjadi yang pertama mengetahui kepergian beliau.
1 Maret, pada hari ulang tahun beliau yang kesepuluh, beliau meninggal dunia di kamarnya.
Penyakit leukimianya berhasil mengalahkan dirinya.
Padahal rasanya baru kemarin malam beliau membacakan sebuah cerita. Baru saja saya dipeluk dan diberi sebuah kecupan hangat oleh beliau di kepala saya.
Saya menangis sejadi-jadinya.
Hilang sudah sumber kasih sayang yang saya miliki di rumah megah itu. Waktu terasa begitu lambat tanpa kehadiran Nona Jelita. Saya bersedih, tetapi saya tahu tidak boleh berlama-lama karena saya harus menjadi kuat dan diam, supaya seisi rumah tidak terganggu dengan raungan saya.
---
APA yang dapat diberikan seekor anjing kepada tuannya?
Kesetiaan. Itu saja jawabannya.
Ketika Nona Jelita mati, seharusnya saya juga ikut menyusulnya. Sebagai bukti kesetiaan saya kepada beliau. Tetapi saya kembali berpikir, jika saya mati, tentu Nona Jelita akan marah besar. Beliau begitu menyayangi saya, dan tentu beliau tidak ingin saya mati hanya karena ingin membuktikan kesetiaan saya.
Tetapi, jika saya tidak ikut mati, maka kesetiaan seperti apa yang harus saya jalankan?
Akhirnya saya membuat keputusan kalau kesetiaan yang harus saya jalankan adalah tetap berada di rumah megah itu. Meski sumber kehangatan saya sudah tiada, saya tetap harus setia karena di rumah itulah saya berhutang budi atas segala uang dan fasilitas yang sudah dikerahkan untuk kehadiran saya.
Saya akan menjadi anjing yang setia.