Tuan, Dimana Engkau Berada?

Yemima Haan
Chapter #2

Bagian Mata: Satu

SAYA masih sangat ingat bagaimana saya bertemu dengan beliau.

Waktu itu sedang hujan dan saya hanya bisa berpasrah diri pada alam yang sedang menangis. Saya meringkuk di dalam sebuah kardus yang perlahan-lahan melembap dan melembek karena dihantam rintik hujan. Tuan saya yang sebelumnya telah menelantarkan saya di pinggiran trotoar sebuah tempat antah berantah, tanpa alasan yang jelas. Sungguh, saya tidak mengerti mengapa ia menelantarkan saya—membuang saya. Padahal saya tidak pernah melakukan apapun yang melukai hatinya, begitu juga dengan fisiknya. Saya yakin sekali saya sudah menjadi anjing yang baik, menurut jika disuruh berbaring tanpa suara dan disuruh makan. Ketika dimandikan pun saya tidak bertingkah. Saya juga pendiam, tidak seperti anjing tetangga yang sedikit-sedikit menggonggong. Karena gonggongannya itu, sudah entah berapa kali ia habis dipukuli tuannya. Tetapi ia tak pernah jera. Terus saja menggonggong tanpa alasan yang jelas. Entah apa yang ia gonggongi, saya tidak pernah mengerti.

Tetapi kenyataan berkata lain. Saya yang pendiam dan penurut ini—yang jelas jauh lebih baik dibandingkan anjing tetangga—tak lagi disayangi oleh tuan saya. Pada akhirnya tidak ada yang bisa melawan—apalagi mempertanyakan—takdir, sehingga saya pasrah saja memeluk kehidupan baru saya sebagai hewan peliharaan yang dibuang oleh tuannya. Di dalam kardus ini, yang saya lakukan hanyalah meringkuk dan memperhatikan hiruk pikuk yang terjadi di depan mata.

Banyak manusia lalu lalang, tetapi yang mereka lakukan hanyalah berhenti sebentar, melihat saya, lalu kembali berjalan. Seakan-akan kehadiran saya bukan apa-apa bagi mereka, hanya sekadar sebuah “hal baru” yang berbaur dengan hal-hal yang “sebelumnya sudah ada”. Hanya sebuah pemandangan.

Sedang meratapi nasib begitu, saya dikunjungi oleh seekor tamu. Seekor kucing belang mampir ke kardus saya. Ia kelihatan bukan seperti kucing jalanan pada umumnya. Barangkali kucing ras. Saya tahu kucing belang itu datang hanya karena merasa kasihan pada kondisi saya yang antah berantah. Diri saya yang dulu mungkin akan tersinggung, merasa harga diri saya dilukai karena sebuah rasa iba yang datang dari makhluk yang membutuhkan rasa iba. Tetapi diri saya yang sekarang bukanlah diri saya yang dulu, sehingga saya tidak mengusirnya.

“Hai, apa yang terjadi denganmu?” tanya kucing belang itu. Mata hijaunya yang bulat beradu pandang dengan milik saya. Matanya besar sekali, saya sampai merasa agak tidak nyaman karenanya.

“Seperti yang kamu lihat,” ujar saya. “Dibuang.”

“Ah, kasihan sekali,” ia membaringkan tubuhnya di sebelah saya. “Kamu mengingatkanku pada masa lalu.”

“Masa lalu? Kamu dibuang juga?”

“Iya, saya dibuang.”

“Kenapa?”

“Saya hamil.”

“...Maksudnya?”

“Waktu itu saya sedang jalan-jalan sore. Tidak jauh-jauh amat. Hanya mampir ke taman dekat perumahan. Tetapi seekor kucing berandal tiba-tiba mendatangi saya, lalu jadilah saya dibenihi olehnya. Saya tidak bisa melawan. Semua terjadi begitu cepat. Setelah melakukan itu, dia meninggalkan saya begitu saja. Saya baru berani pulang keesokan harinya. Beberapa waktu kemudian saya hamil. Jadilah saya dibuang oleh tuan saya.”

Mendengar itu, saya cuma diam manggut-manggut. Saya tidak tahu harus merespon apa. Kucing belang itu tersenyum simpul melihat saya.

“Bagaimana denganmu?” katanya. “Kamu dibuang karena apa?”

“Entah,” jawab saya. “Saya tidak tahu alasannya. Tuan saya tidak berkata apa-apa.”

“Serius? Asal buang saja, begitu?”

Lihat selengkapnya