Cahaya dari sekotak pintu terbuka, seolah penuh terisi harapan. Bak mengulurkan tangan kepada orang-orang menyedihkan yang terkurung dalam bangunan tertutup rapat, agar segera melepaskan diri dari tali kekang.
Jati tak tahu lagi bagaimana pikirannya bekerja. Dia tahu bangunan ini terus-menerus memberi bisikan mengerikan, menggerogoti raga perlahan. Pula paham bahwa pintu di depan sana akan membawanya terlepas dari semua itu.
Namun, dia tak seantusias itu.
Pergi.
Salah satu dari sekian kata yang tertulis di dalam buku aneh. Jati tak akan melihatnya lagi, tetapi rangkaian huruf itu masih tergambar di benaknya dengan sempurna, segar bagai ingatan sedetik lalu.
“Cepat! Ini satu-satunya kesempatan!”
Tanpa sadar, Jati benar-benar sudah meninggalkan bangunan gelap nan mencekam itu. Dia menghentikan langkah setengah meter dari pintu. Dia tak sepenuhnya gembira, bukan juga kalut oleh ketakutan.
Semua yang ada di benak Jati selalu saja buram—entah sejak kapan. Dia tak tahu apa yang sesungguhnya ingin dilakukan, apa pula yang harus dilakukan. Gagal memahami perasaan sendiri. Menyerah untuk berusaha menyembuhkan pening di kepala.
Jati tersentak saat tiba-tiba terasa hentakkan dari belakang, membuatnya terpaksa melangkah sekali dengan nyaris tersungkur.
Didorong.
“Ini mungkin hanya sekali! Jangan sia-siakan, Ka—”
“Berisik ….”
Menunduk, Jati perlahan menggerakkan kaki, terasa berat. Menjauh dari bangunan itu. Dia sama sekali tak mendengarkan ucapan barusan. Perhatiannya selalu saja kembali ke halaman-halaman buku yang seolah membalik tiada henti di benak. “Buku sialan ….”