Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #2

01: Kedatangan Tertunda Sepuluh Tahun

“Masih belum datang, ya … Papi, Mami.” Haw memandang papan yang menunjukkan jadwal tibanya beberapa pesawat. Orang-orang akan pergi usai membaca tulisan tersebut sesaat. Namun, gadis itu tetap berdiri di sana.

Nama pesawat yang ditunggu Haw, tak kunjung muncul. Entah sudah berapa banyak orang berlalu-lalang di sekitarnya. Menjemput seseorang yang baru saja datang, mengobrol sebentar, sebelum berjalan bersama menuju taksi atau parkiran mobil.

Haw menghela napas panjang. Dari semua orang di gerbang kedatangan, sepertinya hanya dia yang tak tersenyum. Gadis itu bak terlepas dari dunia. Seorang diri merasakan angin pelan menerpa surai panjang nan cantiknya.

Haw bahkan nyaris lupa siapa yang dinanti dan untuk apa.

Tahun lalu, gadis itu datang kemari dan menunggu di tanggal yang sama. Namun, satu saja tak ada nama pesawat yang tertera kala itu, bisa membuat sudut bibirnya terangkat. Bahkan tiada seorang pun datang menemuinya.

“Nomor berapa, ya?” Perlahan-lahan, mungkin dia juga akan melupakan kode penerbangan pesawat tersebut.

Dua, tiga, empat, hingga lima tahun sebelumnya, Haw selalu berdiri di tempat ini pada tanggal yang sama. Belum datang juga seseorang yang bisa membuat gadis itu tersenyum, apalagi tertawa girang. Apa yang dia dapatnya masih sama, tak ada apa pun.

Sepuluh tahun lalu, adalah untuk pertamanya Haw datang kemari. Si gadis yang saat itu masih belia, cukup percaya karena telah mendengar arahan berkali-kali orang tua tentang apa yang perlu dilakukan.

Pesawat komersial, Tectona Airways TN-303, jadwal kedatangan pukul 09.05.

Haw mengenakan tudung jaket guna menutupi kepala, seraya meninggalkan bandara. Semakin lama berada di sini, hanya membawanya tenggelam kian dalam di dasar kenangan tua nan berdebu. Dia tak menginginkan hal itu.

“Apa gue masih perlu nunggu lagi … tahun depan?” 

Haw hanya bisa menggerutu dan menghela napas gusar, meski dia sesungguhnya benar-benar kesal lantaran kedua orang tua gadis itu memutuskan untuk pindah sejauh mungkin dari keluarga besar, sejak belasan tahun lalu.

Dulu keputusan itu terasa baik-baik saja. Dengan demikian, Haw dan keluarganya terlepas dari mulut lebar nan pedas serta segala gangguan dari para saudara—nasib menjadi pebisnis dan orang kaya sendiri pasti mendapat perlakuan seperti itu.

Namun, untuk saat ini usai kedua orang tuanya mendadak menghilang entah ke mana, Haw justru mendapat imbas pahitnya. Akibat buruknya hubungan dengan kakek nenek dan paman bibi, Haw tak memiliki satu saudara pun yang peduli padanya.

“Biarlah … lagian gue punya semuanya.”

Itu bohong. Haw sesungguhnya merasa kacau. Gerbang besar dan mewah tak lagi berarti apa-apa baginya. Segala sesuatu yang dia lakukan tiap hari selalu sama, sudah membosankan. Mau kapan pun, gemuruh mengganggu dalam dada sedikit pun belum surut.

Pegangan tangan berhias cat gemerlap sepanjang anak tangga, menjadi saksi bisu ke mana gadis itu melangkah gontai. Pintu kamar dibiarkan terbuka, usai Haw memasuki ruang. Dia asal menjatuhkan tubuh di ranjang.

Tumpukan buku dan laptop di atas meja belajar, menarik sedikit perhatiannya.

Tahun ini seharusnya Haw memasuki SMA, tetapi dia malah memilih tak bersekolah. Dia mewarisi rumah bak istana dan seluruh kekayaan kedua orang tuanya. Gadis itu merasa telah memiliki segala hal sehingga tak khawatir mengenai keuangan.

Bahkan bila putus sekolah dan tak bekerja sekali pun, Haw merasa tak masalah. Tumpukan emas di gudang bawah tanah masih cukup digunakan untuk berfoya-foya.

Haw tahu bahwa itu pemikiran yang sangat bodoh. Kekayaan tersebut pasti perlahan-lahan habis. Bila dia tak segera paham cara mengatur keuangannya dengan baik, bisa hancur sudah kehidupan gadis itu kelak.

Namun, Haw tak bisa mengalihkan angan-angan dungu tersebut dari benak.

Mungkin, justru isi kepala gadis itu yang bermasalah sehingga tidak bisa lagi bekerja dengan baik. Haw merasa, apa lebih tepatnya, dia sudah gila?

Bunyi bel rumah menggema. Memaksa Haw untuk beranjak. Mengecek sebentar siapa yang datang—bukan orang aneh atau berbahaya, dia tak ragu membuka pintu dan berlari menuju gerbang.

Truk bertulis nama salah satu perusahaan logistik populer akhir-akhir ini, terparkir di jalanan depan kediaman Haw. Sedikit berbeda, padahal biasanya kurir yang mengantar paket milik gadis itu, menggunakan sepeda motor. Namun, dia tak mempermasalahkannya.

"Permisi, paket!" Pria muda itu menyodorkan kotak ukuran satu kali satu meter berbungkus kertas coklat dan plastik yang khas, beserta tempelan berisi identitas penerima, pengirim, dan sebagainya. "Atas nama Mbak Haui?"

"Saya sendiri." Dia menerima begitu saja paket tersebut, sepertinya tak terlalu berat sehingga gadis itu bisa dengan mudah menyeret sambil sedikit mengangkatnya. Haw kemudian berbalik, bersiap kembali ke kediaman.

"Nona kecil!" Panggilan si kurir berhasil membuat Haw kembali tertuju padanya. Pria muda itu meletakkan dua tangan di pinggang. "Kenapa sih pelanggan gue yang satu ini gak pernah tersenyum, gak kayak orang lain kalo nerima paket?"

Haw sejenak memandang lekat pria muda tersebut. Jati, begitu yang tertera di jaketnya. Dia tak ragu akan mengirim nama tersebut ke ahli santet, apabila dia setelah ini masih banyak bicara. 

Haw perlahan mengalihkan pandangan. Lantas berujar lirih, "Gak ada lagi yang bikin gue antusias atau bersemangat."

Lihat selengkapnya