Haw tak benar-benar menunggu hingga mereka mengirimkan tiga puluh paket seperti ucapan Jati sebelumnya. Baru sekitar empat enam kotak terkirim, gadis itu sudah menggerutu tiada henti. “Lu bilang mau ngasih bayaran? Mana? Gue udah kerja seharian, nih!”
“Sewot, lu!” Jati tak mau kalah mengomel. Dia turun usai memarkirkan truk di depan alamat tujuan selanjutnya. “Resi akhiran!”
Haw mencibir. “Bayarannya dulu ….”
Bola mata Jati melebar, membuat-muat raut seram di depan gadis itu. “Woh …,” dia sok menggertak. “Iya, iya! Habis ini gue kasih!” Pria muda itu berlalu menuju bagian belakang truk. Sedetik kemudian, dia kembali menengok Haw melalui jendela truk. “Resinya!”
Haw mendecak, seketika memekik gusar, “Iya, iya! Nih!” Dia mengecek lembaran sekali lagi. “Sembilan nol satu!”
Haw tak peduli lagi dengan Jati. Masa bodoh, mau pria muda itu kesulitan mencari paket yang dimaksud atau tidak. Tingkahnya semakin menyebalkan, membuat Haw kian meragukan janji tentang bayaran tersebut.
Berselang sebentar, Jati sepertinya sudah selesai menyerahkan paket ke penerima. Haw semula tak peduli dan sibuk memandang pinggiran jalan. Namun, si pria muda yang ternyata berdiri di sebelah jendela dekat kursi gadis itu dan menyodorkan uang, memaksanya menorehkan perhatian.
Haw tak mengucap apa pun, tetapi kening yang berkerut telah menyiratkan sejuta tanda tanya darinya.
Jati kian mendekatkan lembaran uang di tangannya pada gadis itu. Dia menegaskan, “Bayaran!”
“Lu main-main?” Haw seketika sudah siap untuk naik pitam. Dia ganti menunjukkan kertas data rekap, tepat di depan wajah Jati. “Lu kira gue gak tahu? Paket barusan adalah COD. Duit yang lu kasih ke gue ini, dari si penerima, ‘kan?”
Haw melipat bibir erat. Meletakkan lembaran tersebut kembali ke atas dasbor dengan agak kasar. “Gue gak mau! Uang itu aja bukan punya lu, jangan beraninya lu kasih ke gue sebagai bayaran!”
Jati membuang muka malas. “Peduli banget sama duit COD ….” Dia menyimpan lembaran-lembaran merah tersebut ke dalam saku. Lantas dengan santai melangkah memutar, menuju pintu kursi kemudi di sisi seberang. “Kalo lu gak mau, ya udah.”
Roda-roda yang semula sempat terdiam, kini berputar kembali. Jati asal memutar setir, berbelok ke jalan raya tanpa meminta Haw untuk bersiap memberi arahan untuk alamat lagi seperti sebelumnya.
Jati menengok keluar jendela sesaat, ke arah barat. Membuat Haw secara alami mengikuti arah pandangannya barusan. Gadis itu sedikit tersentak, baru sadar bahwa semburat jingga samar-samar telah menyirami bumi.
“Gue mau istirahat bentar.” Jati membawa truk memasuki rest area. Diposisikan rapi, bersebelahan dengan kendaraan roda empat lain yang sudah lebih dulu bertengger. Dia turun sambil memberi kode pada Haw untuk mengekor.
“Gue pengen pulang …,” Haw mengomel kesal sambil sedikit mengangkat alis—agak terkesan memelas. Dia ingin kehendaknya didengarkan pula, bukan terus-terusan Jati saja. Terlebih, gadis itu merasa sudah melakukan banyak hal untuk si pria muda selama hampir seharian.
Jati duduk tempat istirahat yang tersedia, berupa gubuk-gubuk sederhana nan elegan di sepanjang taman kecil. “Gue bakal menurunkan lu kalo kita ngelewatin rumah lu pas nganterin paket selanjutnya.”
Haw mendekat ke pria muda itu, tetapi tak mau ikut duduk. “Setelah ini?”