Jati sungguh memenuhi ucapannya, membawa truk melewati gapura di tengah jalan sebagai tanda batas suatu wilayah. Mereka keluar dari Kabupaten Boyolali, memasuki Kabupaten Magelang.
Coretan—tanda telah diserahkan—hampir memenuhi deretan alamat di lembaran kertas. Beberapa paket masih tersisa, memenuhi seperempat bagian bak truk. Setidaknya masih ada sepuluh tempat tujuan lagi.
Sejak sekian menit lalu, Haw hampir tak bersuara sama sekali. Gadis itu tak lekang dari jendela mobil yang tertutup. Kaca menyisakan sepuluh sentimeter terbuka di atas sehingga angin dapat memasuki kabin, membuat surai panjang nan indahnya berayun.
Jati ogah-ogahan melirik gadis itu. “Apa ada cowok ganteng di luar sana? Sampe lu ngelihatnya tanpa bisa noleh kayak gitu?”
Haw tak merespons. Arah pandangnya juga belum berpindah sama sekali.
Bukan apa, Haw hanya lelah. Dia sudah tak memiliki sisa tenaga untuk sekadar mengumpulkan amarah akan tingkah Jati lagi. Bahkan menggerutu dan mengomel pun, dia kehilangan selera.
Bulatan jingga bercahaya, bertengger di ujung barat, terlihat menembus gumpalan awan tipis. Membagi semburat dengan warna serupa, memenuhi cakrawala serta tanah bumi. Orang yang berlalu-lalang tampak kusut, deretan toko mulai ditutup.
Tiap kali menghabiskan sore di tempat asing, Haw tak pernah merasa nyaman. Dia akan selalu merindukan naungan paling familiernya—kediaman sendiri. Sebab, senja adalah saat untuk menyandarkan punggung, beristirahat. Sementara bila bukan berada di rumah, Haw selalu kesulitan melepaskan beban.
Namun, kali ini berbeda. Gemuruh mengusik itu sedikit pun tak singgah, padahal kediaman ada jauh nun di sana. Haw melipat bibir erat-erat, membenci fakta tersebut.
Haw tak menyukai aura Jati yang sejak awal memberi rasa aman. Dia tak kenal Jati sebelumnya, bahkan baru bertemu hari ini. Gadis itu gusar sendiri, hanya ingin Jati memancar kesan seperti orang asing lain.
Mau berapa kali Haw meyakinkan diri akan hal itu—bahwa Jati adalah orang asing. Hati terdalamnya seakan-akan menolak.
Itu aneh.
Raga ini terasa aneh.
Air mata ditahan sekuat tenaga. Haw bukan lagi marah pada Jati, dia lebih dongkol pada diri sendiri, bahkan ingin menghardik, karena semakin irasional dan seolah perlahan berubah menjadi orang lain—yang dia pun tak mengenalnya.
Menarik napas dalam, lantas menghembuskan perlahan. Lamunan Haw berangsur buyar saat merasakan roda truk melambat. Mereka berhenti di salah satu rest area Kabupaten Magelang. Meski begitu, dia masih enggan mengalihkan pandangan dari jendela kaca.
Hanya dari suara, Haw bisa mengetahui bahwa Jati turun dari truk. Berselang sebentar, terdengar suara pintu terbuka lagi. Akan tetapi, pria muda di sana hanya berdiri sambil memandangnya, tanpa kembali naik.
Haw menyadari bahwa Jati belum pernah setenang ini sebelumnya—terlebih dalam waktu cukup lama. Namun, gadis itu sok tak tahu, dia masih lelah bila harus berurusan dengan Jati lagi.
Jati pada akhirnya buka suara, dengan lembut, “Haui.”
Pria muda itu lantas melemparkan peralatan mandi sederhana serta setelan pakaian—termasuk celana hitam panjang dan kaos biru tua berhias sedikit garis-garis putih dengan lengan cap sleeve yang sangat pendek, tetapi anggun.
“Mumpung lagi diskon,” lanjut Jati seolah tanpa perasaan.
Selang beberapa detik, Haw perlahan menengok ke pria muda itu juga. Dia tak kunjung menyentuh pemberiannya, bahkan terlihat sama sekali tak tertarik. Justru lebih fokus pada Jati dengan pandangan nanar. “Kenapa lu melakukan semua ini ke gue?”
Jati berbalik, membelakangi gadis itu dengan salah satu tangan meraih pintu truk, bersiap menutupnya. “Gue gak melakukan apa pun ke elu. Lagian apa lu lupa, siapa yang gak tahu cara pulang?”
Tanpa menunggu respons Haw, Jati menutup pintu truk, lantas beranjak pergi. “Bayaran pertama lu sekaligus gue buat beliin barang-barang itu!”