Memegang kepala erat hingga sedikit pening terasa, Haw menggerutu penuh emosi. Seolah ada yang sedang menghancurkan sanubari berkeping-keping tiada henti, dia tak sanggup menahan semuanya lagi.
Mendengus kesal, Haw asal melempar jaket milik Jati begitu saja, lantas turun dari truk. Dia muak. Sudah begitu, tak bisa tidur pula. Haw hanya ingin pulang, kembali ke kesehariannya seperti biasa.
Pintu truk ditutup kembali tanpa keraguan. Semilir angin seketika menerpa gadis itu. Dingin menusuk kulit, hingga ke tulang-tulang. Bunyi gesekan ranting pohon dan suara segala macam hewan terdengar lirih.
Haw tak lagi takut. Dia memang sudah sering sendirian. Hanya saja ketika hendak tidur, gadis itu terlanjur membiasakan diri berada di posisi ternyaman mungkin—itulah mengapa berada di tempat asing nan gelap membuatnya terlalu waspada dan paranoid untuk terlelap.
Lagi pula saat ini tekad Haw telah bulat. Gadis itu memasang raut yakin. “Gue capek di sini.”
Menoleh ke arah belakang truk, Haw mendapati lampu jalan menyala cukup terang beberapa meter darinya. Entah tujuan apa yang menjadi dasar, tiba-tiba saja gadis itu melangkah ke sana.
Dua meter setelah melewati truk, Haw terpaksa berhenti saat seseorang memanggilnya. Gadis itu berbalik guna memandang siapa gerangan yang mengganggu.
Pintu bak truk terbuka setengah. Seorang pria muda duduk menyandar dinding box bagian dalam. Menekuk satu lutut ke atas, sedangkan kaki satunya dibiarkan setengah menggantung—keluar dari ambang bak.
Jati memandang gadis itu dengan agak ketus. “Lu marah?”
Sepatah kata pun tak keluar dari mulut Haw. Dia justru membuang muka seraya bersiap membalikkan tubuh lagi, lebih ingin melanjutkan langkah dengan tujuan abstrak daripada meladeni pria muda itu.
“Hei!” Nada bicara Jati kian garang. Sedikit saja perhatian Haw terseret kembali padanya, dia langsung melempar beberapa lembar uang ke gadis itu. “Pulang aja sana! Jam segini masih ada bus terakhir yang jurusan ke daerah dekat rumah lu!”
Haw menyambarnya dengan kasar. Bukan melembut, tatapannya ke Jati justru semakin menusuk, dengan amarah yang juga bergejolak menjadi-jadi.
Jati menggeser pandangan, meski tetap dengan wajah kesal. Namun, ada setitik kecil auranya yang berubah tenang. Dia tak sungguh ingin menunjukkan tampang menyebalkan tersebut di depan Haw, itu hanya dibuat-buat. “Lu sangat membantu hari ini ….”
Haw mendengus dan langsung berbalik. Melanjutkan langkah.
Gadis itu tahu bahwa sesungguhnya dia sedikit bergeming akibat kalimat terakhir barusan. Namun, dia enggan mendengar lagi. Tak peduli apa yang telah mereka lalui bersama, Haw hanya perlu pergi. “Lu seharusnya ngasih duit dari tadi!”
Begitu gadis itu berlalu kian jauh, Jati akhirnya melepas topeng. Membiarkan dirinya jujur. Dia memandang Haw dengan sorot mata penuh arti. Namun, pada akhirnya, Jati kembali dengan santai menyandar di dinding box yang dingin seraya memejamkan mata.
Terminal nyaris tak berpenghuni. Hanya ada satu dua petugas di pintu. Mereka menawari bantuan pada Haw, tetapi gadis itu menolaknya dengan berkata bahwa telah tahu ke mana akan pergi untuk menaiki bus tujuannya.
Ruang tunggu berisi deretan kursi—kali ini semua kosong, tak ada seorang pun. Agaknya pun hampir sama seperti halnya ketika siang hari. Mengingat terminal ini juga kecil dan sederhana. Dinding di salah satu sisi ruang terbuat kaca sehingga memudahkan untuk memantau bus yang datang.
Haw melangkah tanpa ragu memasuki ruangan ini. Matanya lihai mencari jalan untuk menuju tempat bus. Namun, berselang sebentar, langkah gadis itu melambat.