Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #6

05: Warung Liminal

Mata tiba-tiba terbuka lebar, Haw kemudian langsung menghela napas gusar. Dia tak menyangka akan memimpikan peristiwa yang sudah berlalu sepuluh tahun. Kepalanya menjadi pusing dan dada sesak.

Haw berhati-hati mengubah posisi menjadi duduk. Melempar malas jaket T-Grandis Express milik Jati yang semula melingkar di tubuhnya, ke dasbor truk. “Siapa sebenarnya orang itu ….”

“Selamat pagi, Haw!” Si pria muda menengok dari jendela kaca truk.

Muka kusut gadis itu seketika menjadi-jadi. Di pembuka harinya, dia harus melihat wajah menyebalkan pria muda satu ini. Sungguh menghancurkan selera hidup.

Haw mendengus. “Apa lu gak bisa ngasih fasilitas istirahat yang lebih layak, Jati? Tidur di sini panas banget, tahu! Gak nyaman sama sekali! Bangun-bangun yang ada malah sakit semua otot gue!”

Sesaat setelah membuka pintu truk dan naik ke kursi kemudi, Jati langsung sinis. “Makin banyak ngeluh, ya! Masih mending lu di sini, daripada harus tidur di belakang bareng kotak-kotak paket!”

Jati menyalakan mesin, juga mempersiapkan kendaraan. “Dah lah! Kita harus buruan siap-siap sebelum kerja.”

“Siap-siap?” Haw tampak kesulitan memahami, wajah bulat nan polosnya semakin menjadi. “Ke mana?”

Jati berat hati menoleh ke gadis itu. Dengan senyum masam yang menyiratkan dia tertekan. “Lu mau nganterin paket dengan penampilan kayak gitu?”

Haw mengerucutkan bibir. Ucapan Jati membuatnya memperhatikan diri sendiri sendiri lebih baik. Pria muda itu sepertinya benar. Dengan muka bantal, terlebih rambut yang berantakan, akan memalukan bila harus bertemu seseorang.

Jati melajukan kendaraan. Dari matahari ketika masih malu-malu mengintip di ujung timur, hingga kini menunjukkan diri sepenuhnya. Menyiram tanah bumi dengan cahaya hangat.

Selang beberapa menit, truk melambat dan kemudian berhenti. Rest area yang sempat disinggung Jati kemarin hari, telah ada di hadapan mereka. “Lu turun dulu, langsung mandi sana. Gue mau ngisi BBM.”

Haw menuruti ucapan Jati. Mengambil peralatan mandinya yang berada di bagian belakang kursi—memang masih ada sisa ruang di sana, lantas meninggalkan truk.

Mandi seadanya belum juga menjadi hal biasa bagi Haw. Dia masih merindukan kamar mandi luas di kediamannya dan berbagai produk perawatan kulit yang siap sedia di sana. Namun, setelah memutuskan kembali bersama Jati, gadis itu tak bisa protes.

Haw terkadang bingung pada dirinya sendiri. Daripada kehidupan sunyi dan bertimbun rasa kesepian di rumah, mengapa dia lebih memilih di sini yang jelas-jelas membuatnya kesal selama dua puluh empat jam sehari?

Baru saja meninggalkan kamar mandi, Haw disapa oleh Jati yang juga sudah selesai membersihkan tubuh—dia tampak lebih segar, tetapi tidak dengan kalimat yang keluar dari mulutnya, "Padahal gue harus ngisi BBM dulu baru mandi, tapi kenapa gue yang kelar duluan? Dasar lama lu!"

"Sewot!"

Perjalanan berlanjut. Semula Haw masih bisa menikmatinya, bahkan dia sempat bersenandung. Akan tetapi, lama-kelamaan bosan melanda. Mau bagaimana tidak, sudah hampir dua kilometer dilalui, sedangkan kanan-kiri hanya ada pepohonan. Parahnya lagi, mereka belum sarapan.

"Lama-lama, mata gue jadi hijau." Haw bermalasan, menyandar kursi tanpa tenaga. Sekadar memandang jalanan yang kosong, nyaris tak berpapas atau mendahului kendaraan lain.

Menyadari sesuatu, bola mata Haw membesar. Dia bergegas mengubah posisi duduk menjadi lebih tegap, berusaha melihat dengan jelas ada apa di luar sana. "Oh!" Gadis itu menunjuk bangunan kecil di pinggir jalan. "Ada warung!"

"Lu punya mata elang juga, Bocah." Jati melirik spion—jalanan masih sepi sesuai dugaan, lantas memutar setir untuk menepikan truk. Pria muda itu beranjak turun usai Fero berhenti sempurna. "Gue bakal motong bayaran lu yang selanjutnya buat beliin sarapan hari ini."

"Loh?" Haw langsung memekik protes. Kepalanya menoleh mengikuti arah ke mana Jati melangkah. Buru-buru Haw ikut turun dari truk, kemudian menyusulnya. "Kalo gitu mah, mending gue minta sarapan mahal!"

Jati berkacak pinggang, menatap gadis itu dengan sengit, seolah dia benar-benar tak mau mengalah. "Tadi kan elu yang minta makan sini!"

Haw seketika naik pitam. "Gue cuma ngasih tahu kalo di sini ada warung. Kan sebelumnya tadi gak ada apa-apa! Kanan-kiri cuma sawah sama pohon doang!"

Lihat selengkapnya