“Gue harap, lu ngasih makanan yang lebih layak, Jati …,” Haw mengomel, sambil melangkah malas menuju kursi di sebelah pria muda itu. “Makanan bernutrisi itu penting buat pertumbuhan dan kulit. Gue harus punya wajah yang cantik, tahu.”
Pemuda pemilik warung, menghampiri keduanya. “Makan apa, Mas?”
“Biasa.”
Haw langsung memekik, “Lu denger gak sih barusan gue ngomong apa?”
Usai menerima pesanan berupa roti sisir lima belas sentimeter seharga dua ribuan rupiah—yang tentu saja mendapat protesan Haw setengah mati, Jati tiba-tiba mengalihkan perhatian ke sang pemilik warung. “Oh ya, lu mau—”
“Enggak!”
“Mampus! Rasain tuh!” Haw berdiri dan mencondongkan tubuh ke pria muda itu. Dia puas sekali usai berteriak di hadapannya langsung, bahkan sepertinya akan kian gembira apabila Jati kian tersiksa.
Jati mengerutkan alis kesal, “Lu ada dendam atau apa sih sama gue?”
Mendecak lirih, Jati berusaha pemuda itu agar tak beranjak. “Gini lho … kalo kerja sama gue tuh—”
“Mau membujuk kayak apa pun, gue gak bakal mau.” Pemuda itu berlalu dari Jati, memilih sibuk merapikan camilan di etalase sederhana yang terbuat dari kayu. “Silakan tawarkan pekerjaan itu ke orang lain.”
“Gue gak nemu orang yang cocok.” Jati menyangga dagu menggunakan tangan. “Lagian gue juga gak suka kerja bareng orang yang gak kenal.”
“Emang kita saling kenal? Baru ketemu pagi tadi aja udah sok akrab!”
Jati mendecak. “Intinya—”
“Bang ….” Pemuda itu akhirnya menatap pria muda tersebut. Sorot matanya menyiratkan pendirian yang telah kokoh. Dia tak ingin Jati berbicara terlalu banyak, karena percuma saja, jawaban tak akan berubah.
“Lu mau manggil gue Mas apa Bang sih? Jangan plin-plan gitu!” Dia menunjuk pemuda itu menggunakan roti sisir yang masih terbungkus sempurna di dalam kemasan. “Terus, jangan dua-duanya juga! Tinggal tambahin Chan, jadi leader-nya boyband K-pop gue!”
Jati mengubah posisi duduk menjadi miring—memandang pemuda tersebut dengan sempurna. Meletakkan salah satu tangan di meja. “Denger, ya. Ini tuh kesempatan emas. Pilihan bakal selalu ada di depan mata dan lu dituntut buat ambil keputusan terbaik. Lihat, lu sebelumnya udah punya warung sepi ini, terus gue nawarin lu posisi kernet.” Dia mencondongkan tubuh ke depan. “Sekarang, mana yang terbaik?”
Melipat bibir seraya memejam sesaat, pemuda tersebut lantas memasang tatapan nanar. Jangankan terpengaruh oleh bujukan si pria muda, dia justru kasihan karena semangat sebesar itu digunakan untuk upaya yang percuma. Lantaran semua jelas, tak ada kaya goyah. “Bang Jati ….”
“Lu udah memutuskan buat manggil gue kayak itu? Fix, gak boleh diganti, lho ya!”
“Iya, iya, cerewet! Berhenti mempermasalahkan nama panggilan!”
Menghela napas gusar, pemuda itu tersiksa oleh sesak sendiri—sedangkan Jati yang tak tahu diri pasti belum berhenti sebelum dia menyetujui tawaran. Meski enggan bercerita kepada orang lain, dia terpaksa melakukannya demi penolakan, “Warung ini … harta peninggalan orang tua satu-satunya.”
Pemuda itu memandang etalase kayu sederhana dengan penuh arti. “Gue gak bisa meninggalkan warung begitu aja.” Dia tertawa kecil miris. “Tapi lihat deh, tempat ini gak ada harapan. Mungkin sebentar lagi bakal gue tutup.”
Jati terkejut. "Padahal masih siang? Biasanya banyak orang yang datang lho, kalo jam segini."
"Bukan tutup yang kayak gitu!" Pemuda itu lantas menghela napas, melirihkan nada bicara kembali, “Maksudnya, tutup buat selamanya, udah gak bakal buka lagi.”
Sedikit menunduk, sorot mata pemuda itu membuyar. Dia bak mempertaruhkan hal terpenting dalam hidup, bersiap menghadapi pertandingan konyol memperebutkan sesuatu yang paling berharga. “Gue mungkin baru bisa meninggalkan tempat ini kalo semua udah terjual habis dan bisnis warung ini mau gak mau harus diakhiri.”
Lagi-lagi, pemuda tersebut tertawa kecil, pada dirinya sendiri—Jati sama sekali tak tertarik untuk menunjukkan ekspresi serupa. “Tapi gue gak tahu kapan hari itu datang. Hampir gak ada pelanggan, gimana dagangan mau habis?”
Sejenak, tiada satu suara pun terdengar. Jati kalut dengan pikiran sendiri, kemudian tiba-tiba mengambil napas banyak seraya bangkit dari tempat duduk dan beranjak pergi dari warung—masih tanpa sepatah kata.