“Haw, ambilin topi gue di laci dasbor!” Jati tak mengalihkan pandangan dari jalanan.
Gadis itu cemberut, dia tak terlalu suka menjadi suruh-suruhan Jati. Meski begitu, mengingat posisinya yang berada tepat di depan handle laci, Haw tetap menurut. Ogah-ogahan membuka, lantas meraih dan melempar topi hitam ke Jati.
Tak peduli dengan si pria muda yang sempat melepas kedua tangan dari setir—membuat Bana nyaris jantungan melihat tingkahnya—guna menyibak rambut dan memasang topi dengan posisi terbalik, Haw justru tak mengalihkan perhatian dari laci.
Haw mengambil satu benda lagi yang tersimpan di laci. Sebuah buku. Dia membolak-baliknya. “Cuma putih polos?”
Sejurus kemudian, Haw mendadak terbelalak. Tubuhnya bergetar ketakutan sesaat. Teringat bagaimana hari lalu Jati mendadak menampar tangan gadis itu, terlebih tatapannya yang bak membelah gulita cakrawala malam. “Gak usah lancang sama dasbor,” katanya hari lalu.
“Bukan putih.”
Lamunan Haw buyar akibat suara Jati. Melihat pria muda itu sepertinya tidak marah, mungkin kali ini bukan lagi masalah bila dia menyentuh buku tersebut.
Jati melanjutkan, “Lebih tepatnya kinantan.”
“Jadi ini bisa disebut Buku Kinantan, ya?” Bana menyambar buku itu dari Haw sesaat sebelum Jati hendak merebutnya pula.
Jemari Jati yang berada di udara, perlahan menjadi terkepal. Pria muda itu mendecak lantas menarik tangannya kembali untuk memegang setir truk.
Haw spontan meliriknya. Perkiraan gadis itu meleset, Jati ternyata masih marah—meski tak separah dulu.
Tak merasa bersalah usai menyerobot buku tersebut dari Jati, Bana malah dengan santai membuka dan membolak-baliknya tiap lembar. “Bang Jati, lu ada masalah hidup apa sih sampai demen nulis buku jurnal gini?”
Bana membaca tanggal-tanggal yang tertera di bagian atas tiap halaman. “Mana bukan cuma apa yang sudah terjadi, tapi juga peristiwa-peristiwa esok hari?” Dia tersenyum masam sambil menggeleng keheranan.
Haw yang semula tak mau ikut-ikut karena takut bila Jati semakin marah, sekarang tiba-tiba mencondongkan tubuh ke Bana guna membaca buku tersebut dengan baik. “Serius masa depan?”
“Lihat! Ini ….” Bana membalik ke halaman sebelumnya, lantas menunjuk dua baris.
Bertemu gadis.
Bertemu pemuda.
Bana melirik Jati dengan tatapan jijik, kemudian berujar ketus, “Jangan-jangan ini maksudnya Haw sama gue? Lu udah ngincer kami berdua dari jauh-jauh hari?”