“Kebetulan gue yang bertanggung jawab atas insiden ini. Gue emang dari Kepolisian Khusus, tapi gak ada salahnya kali ini bekerja sama dengan Polisi Republik.” Harim melirik samping sesaat, bermaksud menunjuk orang-orang berseragam coklat di sana. “Kendaraan lu kena senggol lumayan parah, ‘kan? Kalian bebas meminta ganti rugi, dan kami juga bakal membela.”
“Emm …,” Bana memutar otak, “saya gak berani ambil keputusan. Sopir kami mungkin lebih paham. Tapi karena ini truk milik perusahaan, kayaknya harus balik ke kantor T-Grandis Express sebelum menindaklanjuti.”
“Siapa sopirnya?”
Bana menoleh ke segerombolan warga maupun polisi di dekat mobil sedan yang belum berpindah dari pinggir jembatan. “Dia ada di sana, ikut bantuin.” Lantas memandang Harim lagi. “Bang Jati.”
Letkol muda itu menyipit, sesaat belum mengalihkan pandangan tajam dari arah yang ditunjuk Bana barusan. “Intinya, jangan ragu kalo mau mengajukan ganti rugi. Kalian berhak buat ini.”
Bana tersenyum tipis, mengangguk kecil. “Terima kasih.”
Di belakang Bana, Haw sejak tadi diam-diam menengok keluar jendela tanpa turun dari truk. Bukan Harim yang menjadi pusat perhatian selayaknya Bana, melainkan anggota polisi lebih muda—bahkan belasan tahun, di belakangnya—dengan seragam nyaris sama persis dengan sang letkol, hanya berbeda di beberapa atribut.
Lelaki itu rupanya merasakan bahwa seseorang tengah mengawasi. Pandangan bergeser begitu saja. Namun, sesaat sebelum sempat berkontak mata dengan gadis itu, dia lebih dulu menoleh ke arah lain lantaran Harim menyeru pelan, tetapi cukup tegas, “Sid.”
“Kenapa sih?" Nada bicaranya sama sekali tak enak didengar. Terlebih wajahnya yang tetap santai menambah rasa siapa pun ingin menampar.
Harim sekadar meliriknya, pura-pura tak terganggu dengan tingkah barusan—padahal sesungguhnya sangat kesal. “Ke sana gih! Cek sedan itu lagi. Jangan sampai ada yang kelewat.”
Lelaki itu berlalu ke seberang jalan. “Gue bakal lewatin semuanya biar Bang Harim gak punya laporan dan kena marah atasan. Syukurlah kalo sampai dipecat.”
“Ngomong apa lu? Dasar!” Amarah orang itu akhirnya membludak juga.
“Bilangin mereka dong, Bana.” Jati telah kembali. Dia memutar topi ke arah depan, membuat parasnya tak terlalu terlihat. Dengan senyum miring, pria muda itu berlalu seolah tak menganggap keberadaan Harim. “Kita gak menginginkan hal rumit semacam permintaan ganti rugi. Gue lagi buru-buru, gak bisa banyak ngomong.”
Harim pasti telah mendengarnya sendiri dari mulut Jati, tetapi Bana tetap menurut. Mengatakan hal serupa pada letnan kolonel itu, sebelum mengangguk kecil guna berpamitan, lantas segera berlari memutar ke pintu truk sebelah kiri.
Truk melaju sesaat setelah Bana duduk di kursi penumpang sebelah Haw dan pemuda itu menghembuskan napas berat dengan wajah berseri. "Gue gak nyangka bisa ketemu Letkol Harim!"
Gadis di sampingnya menoleh, agak penasaran.
"Soalnya selama ini gue cuma bisa lihatin beliau dari tivi." Bana masih tersenyum sumringah.
"Maksud lu tivi tabung kecil yang ada di warung itu?"
Bana terkejut. "Lu inget?"