Kabupaten Wonosobo. Satu lagi gapura perbatasan kota dilalui oleh Haw—tentu saja bersama Bana dan truk beserta sang sopir. Kota kelahirannya kian jauh, bahkan dia merasa perlahan-lahan mungkin akan melupakan tempat berjuta kenangan gadis itu tertinggal.
Haw mengangkat lembaran rekap informasi paket—mereka baru saja mengambil kotak seisi box truk penuh dari salah satu kantor T-Grandis Express. Dia yang semula diandalkan Jati untuk memberi arahan alamat, kini tak bisa apa-apa lantaran asing dengan daerah sekitar.
"Lagian …," setengah memekik, Haw mengembalikan kertas tersebut ke dasbor dengan sok kesal. "Gue dari awal gak pernah bener-bener setuju buat jadi GPS lu! Jati aja yang maksa!"
Haw membuang muka dari sang sopir truk. Berlagak menjadi korban dan berpura-pura merasa aman, padahal sesungguhnya dia keringat dingin bukan main. Kehilangan peran dalam pekerjaan ini membuat gadis itu panik, bagaimana bila dia tiba-tiba ditendang turun dari Fero karena tak lagi berguna?
"Dasar!"
Mendengar nada bicara Jati yang tak enak, Haw rasanya sudah ingin menyerah saja. Namun, sekejap kemudian, dia justru menoleh pada Jati dengan mata berbinar, sulit percaya.
"Lu orang Boyolali, bukan Wonosobo. Mau gimana lagi sih," Jati berujar santai seolah tak terjadi apa pun. "Bana, lu pinter, 'kan? Masa ada dua kepala nebeng di truk, tapi gue masih harus nganterin paket dengan cara biasa?"
Senyuman lebar percaya diri Bana mengembang seketika. Dia membenahi posisi kacamata. "Ini rencananya. Mula-mula, kita bentuk formasi …."
Lembaran rekap data paket, kini berpindah ke hadapan Bana. Dia meminta ponsel Jati dan membeli kuota internet menggunakan sisa uang yang dimilikinya. Pemuda itu cekatan membuka aplikasi maps, lantas memeriksa satu per satu alamat.
“Ini yang paling dekat.” Bana menyandar usai sekian menit bergelut dengan layar ponsel dan deretan tulisan di kertas. “Perempatan selanjutnya, belok kiri.” Dia lantas menoleh ke satu-satunya gadis di sana sambil menyodorkan ponsel Jati. “Bagian lu. Masih ingat penjelasan gue tadi, ‘kan?”
Gadis itu mengangguk. Dari memelototi alamat, kini Haw beralih ke kolom di sebelahnya. Nomor ponsel penerima. “Minta informasi lokasi rumah tepatnya,” dia mengulangi pesan yang diketik. Lantas menoleh ke Bana, “Gitu, ‘kan?”
Pekerjaan Haw bukan berakhir begitu saja. Usai mengonfirmasi alamat tujuan dengan sang penerima, dia masih memiliki satu tugas lagi. “Jati, jangan cepat-cepat! Kalo tempatnya kebablasan, gak usah salahin gue! Lagian lu nganterin paket apa mau balapan sih?”
Jati mendecak. Menggerutu seraya menurunkan kecepatan truk. “Beneran di sekitar sini gak nih?”
“Gak salah lagi.” Bana memeriksa aplikasi peta dan rekap data paket sekali lagi. “Jalan Siliwangi, tepat di sini. Tapi kalo masalah nomor empat, gue gak bisa lihat lokasi pasnya. Nama rukonya juga gak muncul, emang gak semua tempat tertera di maps sih ya.”
“Diam lu berdua!” Haw tiba-tiba memekik. Merebut ponsel dari tangan Bana, memindah tampilan layar ke aplikasi chat, memeriksa, lalu menengok jalanan lagi. “Gue lagi nyari ruko yang dimaksud sama orangnya!”
Haw menunjukkan sesuatu di depan. “Katanya jarak enam bangunan dari Kantor Kejaksaan. Tempatnya cat biru, punya pelataran luas, ada patung—oh!” Dia menemukannya. “Itu! Berhenti!”
Usai truk terparkir sempurna di depan ruko, Haw melipat tangan di dada sambil duduk tegap dan memandang Jati dengan senyum bangga pada diri sendiri. “Lihat. Apa susahnya?”