Haw duduk malas di kursi usai memastikan tugasnya—mengirim pesan kepada para penerima paket—sementara beres. Pandangan tak sengaja tertuju pada laci di bawah dasbor, tiba-tiba saja gadis itu langsung membuka dan menyambar buku di dalamnya.
“Itu lagi ….” Jati melirik jendela kaca tepat di sebelahnya—berlagak tak melihat Haw. “Masih aja lancang!”
Gadis itu menoleh pada sang pria muda—Jati kembali menghadap ke jalanan, tetapi tingkahnya seakan benar-benar ingin menghindari Haw dari pandangan—menilai respons yang mungkin ditunjukkan.
Mana mungkin Haw lupa bagaimana aura mencekam Jati malam itu, saat dia hendak membuka laci dasbor. Namun, hal seperti itu agaknya tak kan terulang—bila melihat Jati yang tak sungguhan marah saat ini.
Tak ada lagi yang ditakutkan Haw, dia tanpa ragu membuka dan membolak-balik halaman buku tersebut. Gadis itu tersentak saat menyadari sesuatu. “Jati!” Tertulis, kotak jatuh. “Lu harus hati-hati ….”
“Ini toko yang cukup gede, lokasinya udah jelas di maps, jadi Haw gak perlu nge-chat penerima buat konfirmasi.” Bana mengalihkan pandangan dari ponsel menuju sang sopir. “Gimana, Bang Jati, mau nganterin ini dulu, terus abis itu baru makan siang?”
Jati melirik Bana sesaat. "Boleh."
“Biar gue aja nanti yang ngasihin paket ke orangnya!” Haw memandang Jati dengan berbinar. Tulisan di Buku Kinantan tak henti berputar di otaknya, membuat gadis itu khawatir akan-akan terjadi sesuatu.
Si pria muda mendengus. "Gak usah."
"Jati!" Gadis itu tak mau terima begitu saja.
"Lu duduk manis aja, Haw. Pekerjaan itu biar gue yang ngurusin."
Meski Jati tampak seyakin itu, Haw tak percaya. Dia juga enggan menyerah begitu saja. Segala cara akan digunakan, asal bisa mengambil alih posisi pria muda itu sebagai pengantar barang.
Kali ini, Haw benar-benar tak akan membiarkan apa yang tertulis di Buku Kinantan, untuk terjadi.
"Jati …." Sejak sekian menit lalu, Haw masih belum menyerah—hanya sempat diam sebentar ketika makan siang. Rutin setiap enam puluh detik berlalu, dia akan menarik-narik lengan jaket pria muda itu. "Biar gue aja!"
"Gak usah, Haw." Jati menggenggam tangan gadis itu, kemudian susah payah melepas dari pakaiannya. "Kenapa sih lu? Lagian kalo ada apa-apa, gue gak bakal terluka!"
Haw mengerucutkan bibir, sambil alis terangkat memelas. Mata berbinarnya bergeser menuju selembar biru di dasbor yang baru saja didapatkan Jati belum lama dari salah satu penerima paket. "Gue juga pengen dikasih tip."
Jati spontan memekik, "Ternyata lu udah gak peduli sama isi buku itu!"
"Beneran, Jati …," Haw terus membujuknya.
Jati mendecak. Membuka pintu dan turun dari truk, usai menepikan kendaraan tersebut di depan lokasi tujuan paket. "Gak usah ngomong macem-macem! Diam, duduk di situ sama Bana!"
Mendapat penolakan Jati untuk sekian kalinya, Haw menghela napas gusar. Menyandar di kursi kabin Fero dengan malas, hingga setengah tubuhnya bak tenggelam lantaran tak duduk dengan baik.
Semula Haw memang semata-mata berniat menghalangi apa yang tertulis di Buku Kinantan, kotak jatuh, untuk terjadi. Namun, semakin kemari, dia menjadi sungguhan ingin memberikan paket kepada penerima—tanpa alasan tertentu.
Bana tersenyum masam, menepuk pundak Haw.
Dentuman kencang, mengalihkan perhatian dua bocah di kabin truk.
"Oh!" Haw buru-buru melompat ke kursi kemudi, sebelum membuka pintu dan turun dari truk. Bergegas berlari menuju pintu bak yang terbuka. Mendapati si pria muda panik melihat kotak satu kali satu meter tergeletak di trotoar. "Jati ngeyel sih!"
"Kalo ada suara pecah juga kayaknya seru, Bang!" Kepala Bana menyembul dari jendela truk. Dia tertawa jahil.
"Gak usah gitu lu …." Jati menatap pemuda itu dengan senyuman ngeri. Keringat dingin mendadak bercucur sejak sekian detik lalu.