“Masih jauh, Bang?” Bana duduk menyandar tanpa sisa tenaga. Andai dia tak memiliki sopan santun, pasti sudah menaikkan dua kaki ke atas dasbor, memaksimalkan posisi nyaman. Tangan menutup wajah, menyembunyikan raut berantakan saat menguap. Mata berbinar karena basah, tanda otak segera membutuhkan istirahat lantaran kekurangan oksigen.
“Lima belas menit lagi.” Jati menekan tuas kecil di pinggiran pintu truk, menutup sempurna jendela kaca yang sebelumnya terbuka sekitar sepuluh sentimeter. Merasa udara dari luar terlampau menusuk tulang.
Lampu LED di ponsel Jati berkedip-kedip merah, baterai telah menipis. Layar menyala sejenak saat muncul notifikasi tak penting, tanda waktu di lockscreen menunjukkan adanya dua jam tersisa sebelum tengah malam datang.
Bana asal memandang depan dengan asal. Sekeliling yang nyaris hanya dipenuhi gelap, membuatnya tak terlalu tertarik. Fokusnya baru terkumpul begitu dia mendapati jalan berbelok yang berwarna coklat. "Bang, kok itu …."
Jati melirik sesaat. "Oh itu … jalur penyelamatan. Gue justru kaget kalo lu gak tahu."
"Gue tahu," ujarnya agak lebih kencang, "tapi gak nyangka ternyata di sini udah ada."
"Ada," seru Jati. "Ukurannya pun standar. Lebar tiga meter, panjang dua puluh meter dengan model menanjak sampai setinggi enam meter. Jalurnya diisi bebatuan kecil dan pasir," terangnya. "Sebagai sopir kendaraan besar, gue harus naruh perhatian sama hal-hal kayak gini. Kalo terjadi sesuatu, jalur penyelamatan adalah yang terbaik buat mencegah kemungkinan terburuk."
"Kalo semisal ada rem blong, kita ngarahin kendaraan masuk ke jalur penyelamatan biar bisa berhenti, ya?"
"Yap," katanya. "Engine brake dan handbrake mungkin bisa nurunin kecepatan pas rem blong, tapi gak bakal secepat dan seefektif jalur penyelamatan."
Jati memutar setir cukup tajam tanpa sepatah kata lagi, saat Bana membalas tuturan terakhirnya dengan anggukan. Meninggalkan jalan nasional, bangunan-bangunan besar di kanan-kiri sama sekali tak ada lagi, sekadar deretan rumah sederhana dan beberapa toko kecil yang kebanyakan telah tutup. Cahaya hanya berasal dari lampu di tiap belasan meter.
Bana berniat memejamkan mata, tetapi mengurungkan niat lantaran merasa bak sedang menantang malaikat maut. Bagaimana tidak, Jati jelas-jelas sedang mengantuk, tak apa bila dia masih cukup kuat untuk mengendalikan kendaraan dengan benar. Pasalnya, Bana merasakan bahwa saat ini laju Fero mereka sangat berantakan.
“Bang Jati cari kopi dulu sana ….” Bana nyaris tak sanggup menahan kantuk, tetapi sejurus kemudian konsentrasinya justru meningkat drastis. Membenarkan kacamata, pemuda itu lantas sedikit mencondongkan tubuh ke depan guna memandang jalanan lebih baik.
Di antara gelap menyelimuti tanah bumi, samar-samar Bana menangkap sesuatu berbentuk seperti manusia. Tak terlalu di pinggir jalan—sisi kiri, tetapi tidak sampai di tengah juga. Melambai berulang kali. “Bang, itu apa, ya?”
Berusaha mengidentifikasi benda aneh di tengah tak jauh dari mereka, Bana tiba-tiba terkesiap bukan main. Jati mendadak mengumpat sambil membanting setir ke kanan, sehingga tiga orang di kabin terguncang cukup keras. Syukur tak ada kendaraan dari arah berlawanan. Bergegas, Fero kembali di bawa ke jalur seharusnya, kemudian menepi.
Bana menengok belakang, dia terbelalak ketika akhirnya mengetahui apa yang sesungguhnya ada di sana. Sebuah pick-up box terguling, masuk ke semak-semak—sebagian masih berada di bahu jalan. Sementara seseorang yang melambai, kemungkinan adalah sang sopir. Dia pasti berusaha meminta pertolongan atau setidaknya memberitahu kendaraan lain bahwa truk bermasalahnya perlu dihindari.
Bana mengangkat alis kasihan, tak bisa membayangkan bila dia sendiri berada di posisi tersebut. Jalanan jauh dari kota, hampir tak ada kendaraan lain melintas, pemukiman warga sudah terlewati dan kanan-kiri hanyalah sawah seluas mata memandang. Terlebih, pemuda itu tak menangkap keberadaan orang lain, sopir tersebut pasti tak memiliki rekan.
Perhatian Bana teralih saat bunyi pintu Fero terbuka, menyentuh gendang telinga. Pemuda itu menoleh. “Bang Jati?”
“Bentar ….” Pria muda itu turun, lantas menutup pintu kembali.
Pandangan mengikuti Jati selama sekian detik, Bana lantas membuka kaca jendela tepat di sebelahnya, meletakkan dua tangan di sana. Dia mengeluarkan kepala, berusaha memandang sang pria muda yang berjalan menuju truk terguling. “Bang Jati seriusan nih?” Nada bicaranya sangat cerewet—wajar lantaran Bana sudah sangat lelah, “Haw pasti bakal ngomel, kalo aja dia masih bangun.”
“Lu tidur aja kalo ngantuk!” Jati tak memandang pemuda itu, sekadar melambai sesaat sambil menghampiri sopir pick-up tersebut.