Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #13

12: Masalah Bukanlah Masalah Ketika Kau Tidak Menganggapnya Sebagai Masalah

"Kita ….” Bana duduk menyandar. Memandang depan, tetapi fokus buyar lantaran nyaris tak sanggup melihat apa pun dengan benar. Semua yang ada di jalanan berlalu sangat cepat, panah speedometer menunjuk ke sudut yang cukup tinggi. “Lagi naik Fero atau alap-alap, ya?"

Jalan nasional kebetulan tengah lenggang. Aspal seluas itu, hanya diisi oleh beberapa kendaraan. Jati kian mendapat dorongan aneh dari dalam diri untuk menginjak pedal gas lebih dalam.

Haw meraih laci di bawah dasbor, mencari-cari benda kesukaannya. Tanpa mengalihkan pandangan dari lembar demi lembar dibalik, dia berkomentar, “Jati, lu harus ikut balapan mobil di tivi, lu pasti menang!”

“Bang Jati,” Bana agak memekik gusar, “lu gak pernah khawatir bawa kendaraan kencang gini karena ada asuransi dari T-Grandis Express, ‘kan? Lu ngandalin duit orang!”

Jati spontan mendecak kesal. "Gak tuh!” Dia menggeser tuas perseneling semakin ke kiri. “Di T-Grandis Express gak ada asuransi kecelakaan buat kurir, ya! Gue—"

“Iya, iya,” Haw mengomel malas. Macet, begitu tulisan yang ditemukan. “Cari jalan alternatif sana, nanti lu ngamuk gara-gara gak bisa lewat sama sekali.” Dia mengembalikan Buku Kinantan ke dalam laci di bawah dasbor dengan kasar, lantas menutupnya dengan tak santai pula. Menyisakan bunyi dentuman kecil memecah sunyi.

Melirik spion sesaat, Jati memutar setir. “Di sini, Bana?”

“Iya.”

Kecepatan kendaraan menurun. Jalanan yang semula tersisa sekian meter di kanan-kiri lantaran lebar, kini nyaris pas seukuran Fero itu sendiri. “Denger ya, Haw. Gue belok ke sini bukan karena omongan, tapi tujuan kita selanjutnya emang di deket sini.”

“Gue gak peduli!” Haw asal menyambar topi hitam milik Jati di dasbor, mengenakannya ke pria muda itu dengan kasar, lantas mendorong pet—bagian depan topi—ke arah bawah sehingga Jati kesulitan melihat.

“Sembarang lu!” Dia spontan menjauhkan tangan gadis itu, sebelum memperbaiki posisi topi tersebut.

“Kali ini pasti bakal berhasil!” Haw tak mendengar Jati yang masih terus mengoceh atas tingkah lancangnya barusan. Gadis itu telah terbakar semangat oleh ambisi sendiri. “Gue pasti bakal bisa menghindar apa yang udah tertulis di Buku Kinantan!”

“Bang Jati ….” Bana menengok belakang melalui jendela kaca yang terbuka. “Karena kita jalannya lambat, ada satu mobil sama sekitar sepuluh sepeda motor ngantri di belakang. Mereka kesulitan buat mendahului.” Dia lantas memandang sang pria muda. “Kayaknya bakal jadi masalah.”

Jauh di depan mata, sudah terlihat adanya deretan penjual di pinggir jalan sepanjang lima puluh meter. Aspal telah mepet dengan ukuran Fero sebesar itu, sudah pasti ruang bebas akan semakin menipis bila mereka melalui tempat tersebut.

“Gak apa-apa.” Jati sedikit menggeser setir, mengondisikan posisi Fero sesaat sebelum memasuki jalanan dengan para pedagang memadati di kanan-kiri tersebut. “Diujung kan ada belokan tuh, setelah itu udah habis pasarnya. Kita masuk jalan raya lagi, aman deh, selama gak papasan.”

Sejurus kemudian, sebuah sedan delapan kursi muncul dari arah berlawanan. Sama-sama memasuki pasar. Kedua kendaraan terhenti. Dari kaca depan masing-masing, para sopir seolah saling memandang dengan wajah pucat.

Bana langsung memekik, “Bukannya terjebak macet, kita malah bikin kemacetan! Gimana nih, Bang Jati?”

“Masih aja gagal! Apa yang tertulis di buku itu tetap terjadi!” Haw menyandar dengan kasar. Gusar sendiri. Dia asal mengangkat kaki dan meletakkannya di dasbor. “Jati, hidup lu emang penuh kesialan banget!”

Jati ikut naik pitam. “Lagian elu, ngapain juga masih sibuk sama buku itu! Gue udah bilang, abaikan aja ‘kan! Isinya tuh cuma omong kosong, omong kosong! Sama kayak otak lu yang kosong!”

Bana takut-takut mengintip sekitar melalui jendela kaca. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh dalam sekejap. “Bang Jati, kita harus ngapain nih? Kayanya orang-orang pada ngelihatin kita dengan tatapan tajam! Permintaan maaf doang gak bakal cukup nih, mereka gak bakal ngasih ampun ….”

Haw mendengus usai ikut menengok belakang dari kaca spion sesaat. “Hampir semuanya anak sekolahan, baik yang dianter maupun bawa motor sendiri. Mereka pakai tanda pengenal yang dikalungin dan ini terlalu siang buat berangkat sekolah seperti biasa. Pasti mau ujian.”

Pandangan gadis itu beralih ke sang pria muda dengan sorot mata sipit nan tajam. “Jati, lu harus bertanggung jawab kalo mereka gak naik kelas atau gak lulus gara-gara gak ikut ujian karena kena macet di sini.”

Sebelah bibir pria muda itu terangkat tanpa diinginkan. Parasnya kian pucat bukan main.

“Kanan-kiri udah mepet banget, karena ada banyak penjual. Sepeda motor aja gak bakal bisa mendahului gimana pun caranya, apalagi mobil.” Begitu memeriksa depan, Bana seketika memekik terkesiap. “Belum-belum, sedan di depan udah disusul dari belakang aja! Mana ada yang bisa mundur kalo kayak gini!”

Lihat selengkapnya