Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #14

13: Bulu Kucing Sama dengan Pakaian Manusia

“Haw, udahlah ….” Bana tersenyum tipis dan mengangkat alis miris, mengetahui tingkah gadis itu yang masih sama saja sejak meninggalkan Kantor T-Grandis Express Cabang Wonosobo beberapa jam lalu—padahal dia sempat tampak baik-baik saja saat mereka mengalami macet barusan.

Haw melipat tangan di depan dada. Menoleh ke sisi kiri jalan, seakan-akan tak ingin memandang Jati barang satu lubang pori-porinya. Jangankan menuruti ucapan Bana, dia justru menggeser posisi duduk menjadi menghadap pemuda itu sepenuhnya. “Gue pengen duduk di pinggir jendela.”

Jati mendecak. Melirik sinis gadis itu sesaat, lantas kembali fokus ke jalanan. “Gak usah aneh-aneh, udah di situ aja. Terus duduk yang bener ….”

Haw kian mendekat pada pemuda itu, lantas berbisik—tetapi sengaja disuarakan kencang, “Bana, bilangin ke orang itu kalo dia berisik.”

Jati seketika naik pitam, “Ngomong langsung kenapa? Ngeselin!” Lantas dia menghela napas. “Ada apa sih? Lu masih marah gara-gara gak jadi tidur di kantor semalam? Lagian elu udah beli topi pake duit gue juga! Gue harus membujuk lu dengan cara apa lagi, bocah sialan!”

Usai Jati menggerutu, tiada seorang pun bicara lagi. Haw sama sekali tak ingin berurusan dengan pria muda itu dan memilih bungkam dengan wajah cemberut. Sementara Bana sudah terlampau heran sendiri akan kelakuan kedua penghuni kabin lain.

Kesunyian perlahan mengisi butir-butir ketenangan sedikit demi sedikit. Tanpa sadar, Bana mulai memikirkan tidak terlalu penting, tetapi entah mengapa cukup mendalam.

Sekian meter dari mereka, terdapat baliho di pinggir jalan. Hanya terdapat warna putih dove memenuhi seluruh permukaan, menyisakan goresan-goresan biru yang membentuk tulisan. Seolah meminta seluruh mata memandang tertuju padanya.


"Tragedi terbesar dalam hidup bukanlah kematian, tetapi hidup tanpa tujuan." 

-Myles Munroe


Berjarak beberapa meter, baliho lain terpampang. Kali ini dengan latar berwarna peach yang lembut. Kemudian dari ujung kanan atas, terlukis besar—nyaris memenuhi layar—tiga per empat dari sepasang sayap kupu-kupu yang sedang terbang. Tak lupa, sebuah tulisan indah di tengah.


"Bahkan angin yang membawa kelopak-kelopak bunga berjatuhan pun, memiliki arah tujuan dan pemberhentian terakhir."

-Beruang Madu


Bana sedikit tersentak. Bola matanya agak melebar, berbinar bak memantulkan gemerlap bintang. Kalimat sederhana, tetapi meresap ke dalam sanubari. Membuatnya terpikir akan banyak hal. "Hmm? Beruang Madu ini siapa, ya? Kata-katanya bagus. Jadi pengen ketemu sama orangnya."

Lihat selengkapnya