Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #15

14: Roda Keberuntungan Berputar Dua Kali

Haw bergegas berpamitan pada sang penerima paket, kemudian menyusul pria muda itu. “Jati, tungguin!” Berlari kencang, dia menyalip pria muda itu seraya memasang wajah sombong. Memasuki kabin truk lebih dulu.

Gadis itu membuka laci di bawah dasbor, tanpa ragu mengambil Buku Kinantan dan membolak-balik halaman. Tak peduli pada Jati yang menggapai kursi di balik setir tak lama kemudian, menggerutu akan masih lancangnya sikap gadis itu.

Bana datang tak lama setelahnya. Mendapati Haw memegang buku bersampul putih bersih itu, dia cukup tersentak. "Apa ada yang menarik? Atau cuma kesialan-kesialan Bang Jati selanjutnya aja?"

Jati seperti siap mengamuk. "Apa-apaan omongan lu? Kenapa hidup gue kesannya kayak berisi kesialan doang?"

"Yang satu ini, gue gak bakal menghalangi buat terjadi, Jati. Meski usaha yang dulu-dulu belum pernah berhasil sih." Haw memandang pria muda itu lekat—cukup mengejutkan karena beberapa saat lalu dia kesal setengah mati padanya. "Lihat ini!" 

Dari sekian kata-kata tersusun di buku itu, Haw menunjuk salah satu. Jutaan rupiah.

Bana seketika melonjak. "Maksudnya Bang Jati bakal jadi jutawan dadakan?" Senyuman seketika mengembang lebar. "Keberuntungan besar! Akhirnya akumulasi hoki lu keluar juga, Bang!"

"Tapi …." Haw melirihkan suara, "Kita bakal ada sedikit masalah."

Tepat di atas tulisan yang ditunjuk Haw sebelumnya, terdapat rangkaian kata tak kalah menarik. Jatuh ke selokan.

"Apa maksud lu sedikit masalah? Itu mah masalah besar!" Jati berteriak sekuat tenaga, agaknya gemas ingin mengunyel-unyel gadis di sebelah itu hingga serupa kertas kusut, kemudian dibuang ke sungai. "Dasar bocah sialan! Mikir dikit dong!"

Haw sedikit pun tak mendengar protesan pria muda itu. Sekali ada yang menarik perhatian, maka hanya hal tersebut yang akan dibahas olehnya. Dia berbinar-binar seperti kucing kecil penuh harapan meminta sedikit makanan. "Jati bakal mengambil jutaan rupiah itu, 'kan? Meski harus jatuh ke selokan dulu!"

"Kenapa gue harus repot-repot masuk ke selokan?" Jati mendecak, duduk menyandar di kursi kemudi dengan kasar. Melipat tangan di depan dada. Lantas menggerutu, "Dari awal 'kan gue udah bilang, lupakan aja buku itu! Kenapa masih lu urusan aja? Isinya cuma omong kosong!"

Pipi tembam Haw berangsur kian menggembung. Dia bersungut-sungut. Menatap Jati tajam seolah ingin memanggangnya di atas api unggun, lantas diarak keliling kota. "Buruan deh! Pokoknya masuk selokan! Masuk selokan!"

"Gak ada jaminan kalo yang dimaksud adalah gue!” Jati merebut Buku Kinantan dari Haw, menutupnya dengan kasar. Kemudian dikembalikan ke laci di bawah dasbor. “Elu aja buruan masuk ke selokan sana, bocah sialan!"

"Marah!" Haw melipat tangan di depan dada. Menggeser posisi duduk agar membelakangi Jati. "Gue makin marah!"

"Oke, oke! Gini!” Jati meraih pundak gadis itu. Hendak memaksanya berbalik, tetapi mengurungkan niat. “Kita bikin kesepakatan! Gue masuk ke selokan, tapi lu berhenti marah gara-gara tidur di truk semalam?"

Lihat selengkapnya