“Kenapa sih berita ini lagi, berita ini lagi! Jati, notifikasi kayak gini gak bisa dimatiin apa?” Haw spontan meletakkan kertas data kerap kembali ke atas dasbor dengan kasar, lalu mengutak-atik ponsel kesal.
Jati tak mengalihkan pandangan dari jalanan. “Ribet, lu. Tinggal hapus tiap kali notifikasinya muncul, kenapa sih?”
Bana ikut menengok layar ponsel. “Pembobolan bank kemarin itu, ya? Rame banget sih emang.”
Haw meletakkan ponsel ke pangkuan, ganti menatap pemuda itu. “Kerugiannya besar?”
“Banget!” Bana tampak cukup tertarik membahas ini. “Lebih lagi, lu tahu apa? Katanya, pelakunya cuma satu orang.”
Haw spontan mengerutkan alis. “Masa?”
Pemuda itu mengangguk mantap. “Makin dikit dalang suatu kasus atau peristiwa, makin sulit buat dilacak. Gue rasa, kasus ini masih belum kelar karena alasan itu. Udah gitu, diduga pelakunya adalah seorang mantan kriminal. Dia melakukan pembobolan bank kemarin, bukan untuk pertama kali.”
Jati berdecak kesal. “Kok malah ngobrol? Kalian lanjut kerja, sana! Mana profesionalitas? Profesionalitas!” Dia sok tegas.
Bana seketika bersungut-sungut, “Gue gak mau denger itu dari orang yang tiap kali kerja selalu males!”
Haw kemudian memeriksa kembali lembaran rekap data paket, memastikan nomor yang diketik di ponsel beberapa waktu lalu, telah sesuai. Jemari gadis itu lihai merangkai kata-kata dari keyboard di layar. “Kemungkinan agak sore kami antarkan,” ujarnya seraya membaca pesan terakhir yang dikirimkan.
“Selesai.” Haw menyodorkan ponsel milik Jati ke Bana.
Pemuda di sebelah cekatan membuka salah satu aplikasi, usai menerima ponsel. “Haw, minta tolong bacain alamat … yang baris kedelapan dari bawah.”
“Delapan?” Haw mengambil kembali kertas berisi data-data paket, yang sebelumnya asal dilempar ke dasbor. Telunjuk mungilnya menyentuh tiap baris tulisan sambil menghitung.
“Ah, bentar. Kita tadi udah nganterin berapa?” Bana agak mengerutkan alis, gusar sendiri. “Terakhir tadi apa? Paket buat bengkel bukan?”
“Oh ….” Haw memeriksa lembaran kertas rekap lagi. Meraih bolpoin di dasbor, lantas mencoret salah satu resi. “Iya, iya. Yang kedelapan dari bawah ini, bengkel, udah. Berarti … waktunya yang ketujuh.”
“Nah!” Bana memandang gadis itu kian lekat. “Penerimanya udah lu kabari?”