Kantor T-Grandis Express Cabang Purbalingga, menjadi tempat singgah sementara Jati dan kawan-kawan. Usai memastikan uang COD telah disetor, bak siap dengan kotak-kotak memenuhi, lembaran rekap data paket diterima, dan beberapa barang pribadi mereka dibawa kemari; sang sopir segera membawa Fero baru menjelajah kota.
Menghela napas panjang, Jati melempar dompet ke sembarang sisi dasbor. Tiada apa pun di dalam benda itu, barang selembar kertas maupun sebutir debu pun. “Kenapa apa-apa harus pake uang sih?”
Membiarkan mesin truk menyala seraya menunggunya hingga cukup panas, Jati agak menggeser posisi duduk di kursi kemudi guna merogoh saku celana. Wajahnya seketika bak penuh bintang saat merasakan sesuatu. “Ternyata masih ada sisa dua ungu.”
Semula memainkan sabuk pengaman di kursi sebelahnya—menarik-narik tanpa henti, Haw mendadak menoleh pada Jati dengan amarah yang tiba-tiba memuncak saat teringat sesuatu. “Sialan! Gaji gue selama ini mana? Semenjak ada Bana, lu belum ngasih bayaran sama sekali!”
Bana berada di luar, tak jauh dari pintu truk sebelah kiri yang terbuka. Berdiri menyandar kepala Fero, menghirup udara segar dan membiarkan sendi-sendi bergerak leluasa sebelum harus duduk berjam-jam sepanjang perjalanan. Secepat kilat, pemuda itu menengok ke dalam kabin. “Eh? Bayaran?”
Tetap di bawah, Bana meletakkan tangan di permukaan kursi truk paling pinggir, sedangkan satunya menunjuk Jati dengan lancang. Emosi bergejolak. “Kenapa gue baru dengar tentang bayaran? Bang Jati menyembunyikan itu dari dulu? Jadi selama ini lu mempekerjakan gue cuma-cuma? Licik! Cepet serahin gaji kami! Jangan jadi orang dewasa yang payah!”
Jati tak kalah bersungut-sungut. “Kenapa lu ikut-ikut? Gak usah protes, Anak Baru! Beda sama Haw, elu dari awal emang gak ada kesepakatan atau perjanjian kayak gitu sama gue! Lagian—”
“Bayaran!” Haw bangkit dari tempat duduk, mendekat sebisa mungkin ke pria muda itu.
“Dengerin omongan orang lain dulu!” Jati memekik kian kencang.
Menghela napas, Jati meletakkan punggung di sandaran kursi paling pinggir—duduk serong menghadap bocah-bocah itu—usai mendorong Haw agar menjauh. “Ini masih tanggal tua …. Kalo awal bulan depan udah gajian, pasti gue kasih bagian kalian.”
Bana memperbaiki posisi kacamata, tetapi kali ini hal tersebut seraya mengiringi perubahan sorot matanya menjadi sangat tajam. Bak ujung tombak yang telah mengunci target dan siap meluncur. “Gue anggap itu sebagai janji!”
“Kalo sama gue mah, dari dulu emang udah janji!” Haw melipat tangan di depan dada. Tak lupa ikut-ikut gaya Bana.
Jati mengatupkan gigi erat-erat, muak dan gusar akan tingkah mereka. “Iya, iya ….”