Menghela napas gusar, Bana dan Haw terpaksa mengikuti langkah Jati. Turun dari truk, lantas memasuki warung kecil seadanya tersebut, berdiri di antara kebun seluas mata memandang, sekadar ada dua pabrik baru dibangun yang sangat ramai.
“Ah, maaf ….” Wanita paruh baya, sedikit gemuk dengan rambut pendek diikat di bagian atas kepala, mengalihkan perhatian dari meja dapur di ujung warung. Menyempatkan diri menoleh pada muda-mudi yang baru saja masuk. “Semua makanan sudah habis.”
“Makanan sisa pun gak apa-apa.” Jati menghampiri wanita paruh baya itu. Tersenyum tipis sedikit aneh—mengasihani diri sendiri. “Lagi pula, kami gak punya uang sama sekali.”
Wanita paruh baya itu meletakkan kain lap di meja dapur usai membersihkan tangannya, lantas mendekat pada Jati. “Seriusan gak apa-apa, Nak?” Dia menoleh ke arah deretan panci dan berbagai wadah lain yang lebih kecil, tak jauh. “Kalo soto mah masih ada sisa, kalo lainnya bener-bener habis ….”
Kembali menatap Jati, wanita muda itu mengangkat alis maklum. “Ambil aja gak apa-apa, Nak.”
Bana dan Haw di belakang Jati, seketika berbinar. Meski sisa, hidangan enak akan tetap saja lazat. Terlebih, mereka mendapatkan cuma-cuma, sungguh jackpot. Namun, Jati mendahului, “Enggak, enggak … kami bisa bantu dulu. Masih banyak cucian piring yang belum beres, ‘kan?”
Haw langsung menggerutu tak jelas, seperti merengek. “Tapi gue udah lapar banget ….” Gadis itu mendongak, memandang Jati tepat di sebelahnya, dengan raut memelas.
“Bang Jati, Ibunya kan gak keberatan … kita bisa makan langsung aja.” Bana cerewet, “Kerjaan lu juga masih banyak, ‘kan? Buruan makan, terus segera lanjut nganterin paket, cepat selesai deh.”
“Jati, tolong ….” Haw menunduk, sedikit menekuk lutut seperti orang tak memiliki tenaga. Memegang erat lengan Jati guna menahan dirinya agar tak jatuh terkulai di lantai. Gaya sok memelasnya kian menjadi-jadi. “Gue kelaparan … mau mat—”
Jati menghempaskan tangan begitu saja, membuat jemari mungil Haw terlepas darinya. Gadis itu langsung merengek kian kencang, tetapi dia sama sekali tak mau mendengar. “Ibu, di mana tempat cuci piringnya?”
Selagi mengikuti langkah wanita paruh baya pemilik warung, Jati menoleh belakang sesaat sambil berteriak tegas, “Bocah-bocah, jangan diam di situ! Ayo cepet ikut sini!”
Wastafel ukuran dua kali lebih besar dibandingkan yang biasa ada di rumah umumnya, terpasang di salah satu sisi ruang. Berada di belakang warung utama, perlu melewati pintu kecil di dekat dapur guna mencapai kemari.