Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #20

19: Kode Etik Jalanan

“Jati, SPBU paling deket berapa kilo?” Haw tak mengalihkan perhatian dari buku yang terbuka di salah dua halaman, berada di pangkuannya. “Jangan nunda-nunda isi bahan bakar! Kesialan lu selanjutnya udah kecatat di sini, lho.”

Tangki kosong.

Haw mendengus. “Tapi, palingan elu juga sok gak denger.”

Gadis itu benar, Jati tak menggubrisnya sedikit pun. Dia mendorong tuas transmisi ke tengah, kemudian geser arah kanan, lalu depan. Lihai, dia melepas pelan kopling perlahan, seiring gas diinjak kembali sedikit demi sedikit.

Raungan khas mesin Fero kian kencang. Hembusan angin menerjang habis-habisan dari jendela kaca truk yang terbuka sepertiga, hawa sejuknya menutupi sensasi menyengat di kulit akibat serangan sinar matahari.

Bana mengernyit, tak sanggup manahan mata terbuka sepenuhnya lantaran terpaan angin yang terlalu kencang. "Seriusan mau pake gigi lima? Walau melaju di tol yang lenggang, Bang Jati itu bawa Fero dan memuat paket banyak, lho."

"Hah?" Jati menanggapi ogah-ogahan. "Mau ngeremehin gue? Lu pikir berapa lama gue pegang kendaraan macam ginian? Fero mah udah kayak bawa mobil mainan remot. Iya gak, Haw?"

Gadis yang diajak bicara, sibuk mengamati Buku Kinantan lekat-lekat—seolah adu pandang dengan benda tersebut. Dia tak menoleh ke Jati sama sekali. "Gue gak peduli sih."

Jati baru melepas satu tangan dari setir—hendak mencubit pipi gadis itu hingga melar seperti karet tua, terlampau kesalnya—tetapi mengurungkan niat lantaran menyadari perubahan tak biasa pada kendaraannya. "Loh …."

Jati melirik speedometer, panah terus menurun. Pedal gas diinjak berkali-kali, tetapi tak memberi dampak apa pun. Saat memperhatikan lebih teliti, dia baru menyadari bahwa panel-panel indikator redup. Mesin kendaraan mati.

Kecepatan di bawah angka tiga puluh kilometer per jam, Jati segera menepikan kendaraan. Menyandar di kursi, dia melepas tangan dari kemudi lantaran truk telah berhenti sempurna. “Apa-apaan sih ini? Si Beruang itu lagi marah ke gue atau gimana?”

Bana menoleh. “Beruang? Maksudnya siapa?”

“Penulis!”

“Bentar, deh! Dulu siapa yang nyuruh buat jaga mulut kalo ngomongin Penulis?” Bana langsung memekik, “Lu mau novel ini diberhentiin?”

“Iya, iya, sewot ….” Menghela napas gusar, Jati asal meninggalkan kursi kemudi. Lantas berlalu memutar ke sisi kiri truk seraya menyeru, "Kalian turun dulu, gue mau jungkirin kepala Fero!"

Bana bergumam panjang, heran, sambil menengok keluar jendela kaca yang baru saja dibuka penuh. "Apa ada masalah di sana?"

Jati mencari-cari tuas di bagian pojok belakang kiri bawah dari kepala truk, langkah permulaan sebelum mengangkat kabin. "Jelas lah, orang BBM-nya masih full, apalagi kalo bukan masalah di sekitar—"

Pria muda itu tersentak, begitu sesuatu melintas di benak. "Bentar, kita terakhir isi BBM kapan?"

"Pagi tadi 'kan, waktu kita mau berangkat," sahut Bana dengan nada agak cerewet khasnya. "Sekarang udah mau jam tiga sore."

Lihat selengkapnya