Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #21

20: Ucapkan Salam

Berpapasan dengan tuan.

Bunyi khas buku ditutup dengan kasar, menggema seisi kabin. Jati melempar buku bersampul putih bersih tersebut ke dalam laci, sebelum menutup kembali. Pria itu menyandar kursi kemudi. Menutup mata, meredam aura mencekam yang memancar dari dirinya.

“Lu lama banget, Haw. Perasaan tadi habis sarapan juga udah minum.” Bana membuka pintu truk, terdiam di pinggir jalan sesaat guna membiarkan si gadis naik terlebih dahulu.

Haw berlalu tanpa menatap pemuda tersebut. “Gue pengen yang manis kayak yogurt.”

“Lu tahu berapa harganya yogurt?” Bana mengernyit, memandang gadis itu agak tajam seraya mengambil duduk di kursi paling kiri sambil menutup pintu. “Kalo Bang Jati tahu, pasti marah.” Lantas dia berlagak mengadu, “Bang Jati! Haui tadi—” 

“Ke sini.” Jati membuka pintu truk sebelah kanan. Turun tanpa sempat menatap dua bocah di kabin sesaat pun. Lantas menutup kembali dengan agak kasar.

Penuh tanya, Bana dan Haw bertukar pandang sejenak. Kemudian, menyusul melalui pintu sebelah kiri, sebelum berjalan memutar menghampiri si pria muda di sebelah box Fero.

Jati meletakkan tangan di depan dada. “Gue gak mau kalian lancang lagi!” Dia sedikit mengerutkan alis. “Buku itu bukan punya kalian!”

Bana dan Haw kompak terkejut. Tertegun beberapa detik lantaran Jati tiba-tiba membahas hal itu. Mereka seharusnya sudah memahami sejak dulu, tetapi sekarang perlahan mulai waspada akan makna tersirat yang terkandung.

Jati memindah tangan ke saku celana kanan-kiri. Jaket T-Grandis Express sengaja ditinggalkan di kabin truk, sehingga dia tampak lebih tegap dengan kaos hitam yang mempetas postur tubuhnya. “Kalian tahu berapa lama gue nahan marah?”

Bana kian dibuat terkejut, dan semakin bercampur bingung. “Bang Jati ….”

“Gue menahan diri karena kalian awalnya cuma lihat-lihat. Tapi kalo berani bersikap seolah pemilik dari buku itu, gak ada ampun udah.” Nada bicara sedikit lebih lirih daripada biasa, tetapi sanggup menimbulkan ngeri yang menghantui dua bocah di hadapannya. “Lagian dari awal kalian gak dengerin gue sama sekali, ‘kan?” Pria muda itu kemudian tertawa pelan sekali seraya membuang muka, menambah aura pekat di bayang-bayangnya.

Bana sedikit mengerutkan alis. "Kenapa gue juga kena?" Dia tak terlalu bergeming akan intimidasi tak langsung oleh Jati, masih sanggup agak berlagak mengomel, "Gue hampir gak pernah pegang buku itu."

Jati melangkah sekali dengan kencang, menimbulkan bunyi menggema. “Andai lu dulu gak ngerebut buku itu sebelum gue, Haui gak bakal berani pegang-pegang lagi.” Dia mempersingkat jarak antara keduanya. “Lu emang lebih jarang pegang, tapi lu yang memulai semua.”

Jati berubah kian mencekam seiring menyipitkan mata saat suaranya melirih, “Siapa yang ngajarin lu kayak gitu?”

Lihat selengkapnya