Mengetahui gadis di sebelah murung dan cemberut bukan tanpa alasan, Bana enggan tinggal diam. Dia memasang topi landak lucu pada sang pemilik tersebut. “Gak perlu ditahan, Haw. Lu boleh nangis. Memendam perasaan cuma dampak buruk buat kesehatan mental dan fisik lu.”
Usaha Bana agaknya tak membuahkan hasil sesuai harapan. Akan tetapi, dia memiliki otak encer dan pemahaman luas, masih ada seribu satu untuk mencapai Roma. Pemuda itu sedikit menunduk guna memandang sang gadis lekat. Lantas berujar lembut, “Bilang ke gue coba … Haui kenapa?”
Bana tak sekadar berucapan, melainkan merapalkan mantra ajaib yang sanggup meruntuhkan dinding pertahan palsu para gadis.
Hanya dengan memikirkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan pemuda itu, air mata Haw seketika mendobrak bukan main. Sedikit pun tak mau berhenti dan malah kian deras, tanpa peduli dia berusaha menahan sekuat tenaga.
Terlebih lagi, Bana menepuk pelan puncak kepala gadis itu yang berbalut topi menggemaskan—membuat Haw semakin ingin menyerah untuk menahan tangis. “Gak apa-apa, gak apa-apa.”
Menggeser posisi duduk guna menghadap Bana sempurna, gadis itu mengadu lirih, “Jati gak tahu kalo gue sakit hati ….”
Bana mengangguk-angguk kecil. “Bang Jati emang gak paham banget masalah cewek. Makanya udah tua, tapi masih jomlo aja.”
Si pria muda di sebelah mereka, seketika naik pitam. “Gue denger, lho ya!”
Bana langsung memperbaiki posisi duduk agar dapat memandang pria muda itu. “Kalo denger, harusnya Bang Jati bisa bersikap lebih bijak. Haw gak melakukan sesuatu yang berlebihan, cuma pengen lihat Buku Kinantan.”
Jati asal mengayunkan salah satu tangan. “Lihat dan ngoceh gak jelas. Usaha lu buat menghalangi apa yang tertulis di situ buat terjadi, cuma dalih biar lu bisa gangguin gue, iya ‘kan?”
“Enggak!” Haw yang semula duduk menghadap Bana, kini bergegas berbalik ke Jati. Gaya marah si pria muda yang agaknya telah berubah, tak lagi serius, membuat gadis berani berteriak, “Gue ‘kan—”
“Bla bla bla!” Jati memekik kian kencang, menyaingi gadis itu. Dia enggan mengalihkan pandangan dari jalanan sedikit pun. Dengan nada bicara berubah lirih, lagi-lagi auranya berubah mencekam, “Gue gak mau bahas buku itu!”
Bana menggertak tak terima, “Bang Jati!”
“Kalo gak lagi nyetir, tatapan tajam ini ngarahnya ke elu, lho, Bana.”
Bana mematung seketika, terkesiap bukan main. Tak berani berucap barang sepatah kata. Sesungguhnya telah sadar akan perubahan pria muda itu barusan, akan tetapi dia terlanjur kesal dan enggan tinggal diam. Namun, nyatanya sia-sia, Bana kalah dominan—dan dia terlalu mudah goyah.