“Bana, bantuin gue nurunin beberapa kotak lain yang lebih kecil.”
“Eh … iya, Bang!”
Jati meminta Bana untuk memasuki bak Fero selagi dia sendiri menunggu di dekat ambang pintu besi besarnya. “Cariin yang alamatnya sesuai! Ada sekitar lima mungkin, ambil semua kalo bisa.”
Mengawasi Bana yang sibuk dengan pekerjaannya, sayup-sayup Jati mendengar suara Karel yang masih berbicara dengan chef lain berusia belasan tahun itu, “Gak apa-apa, sisanya bisa dibagiin. Lagian ….”
Jati meraih tiga kotak ukuran delapan puluh sentimeter yang telah lebih dulu dikeluarkan oleh Bana, sedangkan pemuda itu sendiri membawa dua sisanya. Mereka bergegas meletakkan rapi, sama-sama tak jauh dari pintu kafe.
“Sok-sokan.”
Tiba-tiba saja, keduanya tersentak saat mendengar suara seorang gadis yang cukup familiar barusan. Spontan menoleh ke ambang pintu, mereka tak mendapati apa pun selain seseorang berseragam khas chef yang telah berbalik dan baru saja berlalu memasuki kafe lebih dalam—setelah sepertinya sempat menatap Karel.
“Barusan …,” Bana menoleh sambil sedikit mendongak, memandang Jati yang agaknya sepemikiran, “bukannya Haw—”
“Woi! Chef itu bilang mau bagi-bagi makanan, lho!” Gadis yang dibicarakan tiba-tiba muncul dari belakang. Dia mendorong pelan si pria muda. “Cepetan minta bagian sana!”
“Gak mau!” Jati langsung menghempaskan lengan agar Haw menjauh darinya. “Ngapain juga gue harus minta-minta!”
“Jati ….” Haw kembali meraih lengan pria muda itu, kali ini memegangnya erat sambil mengayunkan ke kanan-kiri.
“Ogah amat!” Jati mengangkat sebelah tangan, memutar ke belakang agar gadis itu melepaskan pegangannya.
Haw langsung merengek, menggerutu tak jelas. “Ayolah … ini satu-satunya cara biar gue gak ngambek lagi!” Dia melipat tangan di depan dada, memutar posisi tubuh agar menyamping dari pria muda itu, tetapi sambil meliriknya. “Yakin lu gak mau nurutin?”
Jati menghela napas gusar. Lantas mengerutkan alis seraya melirik gadis itu dengan tatapan tajam. “Lu ngerepotin banget sih ….”
Mendongak guna memandang Jati, Haw terdiam sejenak. Mata bulat cantiknya berkedip beberapa kali, menanti respons selanjutnya—atau mungkin sedang berusaha meluluhkan hati pria muda itu. “Tapi lu mau mintain, ‘kan?”
Jati tersenyum manis, kemudian berubah mengerikan—kesal bukan main. “Ogah!” Lantas langsung berbalik dan melangkah pergi.
“Mau langsung pergi?” Karel akhirnya selesai berbicara dengan anak buahnya. “Kami lagi nyiapin oleh-oleh. Bisa ditunggu bentar.”