“Haw masih belum terbiasa mandi seadanya?” Bana duduk di pinggiran minimarket, beralas lantai, bersebelahan dengan gadis itu. Dia tampak segar dengan wajah bersih dan pakaian rapi—walau sederhana.
Haw sedikit mencibir. “Gue hampir enam belas tahun mandi super bersih, dan sekarang tiba-tiba kayak gini? Ini perubahan besar dalam hidup gue, gimana mau terbiasa?”
Bana tertawa kecil. “Tapi Haw udah cantik. Dengan dan tanpa pakai perawatan sebanyak itu, gak ada bedanya.”
“Lu berusaha bikin gue senyum?” Haw menoleh guna menatap pemuda itu, lantas kembali memandang depan. “Gue gak butuh hiburan.”
Beragam fasilitas rest area memenuhi mata Haw. Parkiran kendaraan, taman kecil, tempat ibadah, termasuk titik pengisian bahan bakar; tempat di mana si pria muda mengantre bersama truk besarnya.
Mereka telah memasuki Kab. Banyumas, lebih tepatnya Purwokerto. Barusan sempat menghampiri kantor T-Grandis Express di kota itu sejenak, guna membereskan beberapa hal, salah satunya mengambil truk baru.
“Beneran gak apa-apa?” Bana tak bisa berhenti khawatir, terlebih gadis itu biasanya sangat bersemangat. “Haw … kalo Buku Kinantan emang sepenting itu buat lu, gue bakal bantuin ngomong sama Bang Jati.”
Haw menghela napas panjang. Dia sekarang memang seperti robot mainan anak-anak yang hendak kehabisan baterai, kehilangan lebih dari setengah ambisi hidup. Meski begitu, dia agaknya tak apa. Senyuman kecil mencuri tempat sejenak. “Buku itu bukan masalah besar lagi, gue udah capek.”
Haw melipat tangan di atas lutut, membuat tubuhnya sedikit condong ke depan. “Mau berapa kali mencoba, usaha gue buat mencegah apa yang tertulis di Buku Kinantan buat terjadi, gak pernah berhasil. Semua itu udah cukup. Mulai sekarang, gue bakal membiarkan apa pun berjalan seperti semestinya.”
“Beneran gak apa?” Meski mendapatkan anggukan kecil dari gadis itu, tetap ada saja yang mengganggu ketenangan Bana. “Haw, gue baru ingat sesuatu tadi. Kemarin gue juga sempat buka buku itu. Di sana, kayaknya tertulis sesuatu yang buruk banget.”
Pecahan kaca.
“Gue gak peduli.” Haw bangkit, lantas beranjak pergi. “Lagian, dari dulu Jati nyuruh kita buat mengabaikan buku itu karena isinya omong kosong, ‘kan? Sesekali turutin aja kata-katanya.”
Haw tak berani, itu saja. Ternyata lu gak bisa dibilangin, ya! Jati menakutkan, satu itu yang ada dalam pikiran. Bila suatu saat pria muda tersebut sampai marah lagi, dia tak tahu bagaimana jadinya. Hanya saja saat ini, Haw bersikap seolah Jati bukanlah pusat masalah.
“Tapi, Haw …,” Bana sedikit berteriak, “di buku itu—”
“Maksud lu apaan? Jati bakal nginjak pecahan kaca? Kemungkinan, cuma kesialan bodoh aja, kayak lu gak tahu Jati aja. Orang ngeselin itu gak bakalan kenapa-napa,” Haw menekankan di beberapa kata terakhir.
Haw melambai-lambaikan satu tangan dengan malas. “Kalaupun ada paku berkarat yang nancap di kepalanya, dia pasti gak bakal ngerasa ada yang salah. Orang itu udah rusak dari dalam-dalamnya.”
Meninggalkan jalur pengisian solar, Fero kini berada tak jauh dari minimarket tempat duduk barusan. Haw membuka pintu sebelah kiri. Dari hanya kepalanya yang menyembul, hingga sepenuhnya memasuki kabin. “Udah selesai isi BBM?”
Jati berdiri di samping pintu sebelah kanan truk yang terbuka. “Sekarang giliran manusia yang isi bahan bakar.” Dia melempar sebungkus roti, kemudian naik ke kursi kemudi.
Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, Haw membuka kemasan tersebut, lalu membagi tiga. Memberikan salah satu pada Bana yang baru saja menyusul ke kabin, sedangkan sisanya untuk diri sendiri dan Jati.
Gadis itu melirik sesaat, tanpa ada rasa tertarik khusus, pada Bana yang mencoret salah satu baris di lembaran data rekap paket, usai menggigit sekali potongan rotinya. Tak sengaja melirik, nama seseorang tertulis di sana sebagai penerima. Fraya.
“Oh …,” Jati berlagak memuji. “Kayaknya lu udah paham sama peraturan tak tertulis kita yang satu itu.”
Haw tak berkomentar. Tubuhnya sedikit tersentak saat Jati mulai menginjak pedal gas. Semburat jingga memenuhi mata memandang, terlebih dengan posisi truk yang melaju ke arah barat, dia cekatan meraih topi miliknya di dasbor.
Dia merapikan rambut sejenak, sebelum memasangnya. Posisi lidah topi semula vertikal ke atas, diturunkan menjadi horizontal. Menghalau sebagian cahaya matahari sore yang menyerangnya.
Sekilas, tatapan gadis itu tertuju pada laci di bawah dasbor yang tertutup, dan mengingatkan akan apa yang ada di dalamnya—Buku Kinantan. Haw menarik napas dalam, menurunkan fokus pandangan menjadi santai. Berusaha membuang jauh-jauh pikiran itu.
Masa bodoh dengan buku tersebut—termasuk tulisan di dalamnya, kini tak ada yang perlu dikhawatirkan atau dipikirkan lagi. Haw bisa berkonsentrasi penuh untuk membantu Jati dan Bana mengirimkan paket, lagi pula itulah tujuan utamanya berada di sini.