"Beneran kacau … ini mah." Sedikit membungkuk guna melewati garis polisi, derap langkah seseorang yang mendekat guna menengok kondisi kepala truk—belum dipindah sama sekali—terdengar kencang lantaran menginjak ranting-ranting kering. "Masih syukur paketnya gak ada yang kenapa-napa."
Beberapa polisi berseragam hitam dan tim penyelamat berlalu-lalang di sekitar, saling berdiskusi dan sebagainya. Beberapa wartawan serta juru kamera bahkan mulai berdatangan untuk meliput—meski belum ada keterangan yang bisa diambil.
"Dia rupanya benar-benar seorang sopir … gak ada korban selain dirinya sendiri. Tindakan sempurna di situasi tak terduga." Seorang polisi yang juga berseragam hitam—hanya saja dengan gaya elit, berdiri di luar garis polisi. Mengamati kendaraan menyedihkan itu dengan mata mengernyit.
Sidden melangkah menghampiri. Sekali lagi menunduk sesaat ketika melewati garis kuning melintang itu. "Yah, kecuali pohon satu ini."
Harim mendapati kabin telah kosong, hanya tersisa bercak darah. Di sekitar, tak terlihat seorang pun yang agaknya terluka atau perlu bantuan. "Ke mana orang-orang itu?"
"Rumah sakit."
Sorot mata Harim terkesan kian tajam saat melirik ke arah anak buah di sebelah. "Ketiganya?"
Sidden mengangguk kecil. "Gue udah menghubungi pihak T-Grandis Express, bentar lagi orang dari ekspedisi itu pasti bakal datang."
Harim kembali memandang depan. "Awalnya …," dia terdiam sejenak, memutar isi pikirannya yang terlampau rumit, "gue gak tertarik pas ada laporan kecelakaan Fero. Tapi setelah dengar siapa yang terlibat," dia memandang kejauhan bak peluru ketapel yang melayang kencang dan menghantam sasaran dengan presisi, "gue berubah pikiran."
“Inikah alasan lu sampai manggil para anggota Kepolisian Khusus alih-alih bawa anak buah dari Polisi Republik kayak biasa?” Logat malas dan ogah-ogahan Sidden sedikit berkurang, "Kenapa? Akhirnya lu bergerak dengan serius? Mau memanfaatkan situasi sekarang selagi dia lengah?"
Harim memejam sesaat. "Gue manggil anggota divisi lu cuma karena gak pengen Polisi Republik ikut-ikut terlalu jauh di masalah ini. Lagian, bego atau apa sih lu?" Lantas kembali serius. "Dengan kondisi terseok-seok kayak gini, apa yang bisa dilakukan?" Kesal menguasai raga secepat kilat. "Gue ngerasa kayak dibodohi terus-menerus." Harim mengerutkan alis, melirihkan suara, "Padahal, semua udah jelas …."
"Apanya yang jelas?" Gaya bicara dengan kesan setengah malas, khas lelaki itu, bercampur sempurna dengan penekanan di tiap kata, kian kentara emosi yang menggelayuti, "Bukannya lu menutup mata atas semua yang sebenarnya terjadi?" Dia lantas berlalu pergi begitu saja.
Sementara di tempat ditinggalkan, Harim melirik Sidden yang semakin menjauh. Tanpa sepatah kata ingin diutarakan.
Kursi panjang tempat Haw duduk, terasa dingin. Koridor seluas mata memandang, tak berbicara apa pun, menelan gadis itu dalam hening. Hanya ditemani oleh garis panah di dinding. Jalur Evakuasi.
Bobot topi coklat di atas pangkuan tangannya, lebih berat dari biasa. Haw menunduk, memandang lekat seraya memegang erat. Gadis itu nyaris lupa bahwa dahulu saat pertama kali melihat corak landak yang lucu di sana, tawanya melengking kencang, antusias bukan main. Saat ini, seutas senyuman kecil bahkan tak hadir barang sejenak.
Haw tak ingat ada corak merah di bagian depan topinya. Yang dia tahu adalah sekarang itu benar-benar ada di sana. Nyata, seolah hidup dan meneror habis-habisan dengan aroma anyir yang sesekali melintas di hidung.