"Bana …," Jati berlagak mengadu, "lihat deh bocah ini. Padahal gue yang lagi sakit, kenapa malah dia yang lebih heboh dan nangis kenceng?"
Bana tertawa kecil. "Aneh banget emang …." Dia lantas melirik gadis itu, agak berlagak menggoda. "Siapa yang tadi sore yakin banget kalo Bang Jati si orang ngeselin gak bakal kenapa-napa?"
Haw mengerucutkan bibir, membuang muka.
Tawa kecil perlahan reda, sudut bibir Bana berangsur turun. Dia agak menunduk, kemudian memaksa senyuman tipis terukir. "Gue gak bakal tanya kenapa Bang Jati milih buat menyelamatkan kami, tapi gue sangat berterima kasih."
Masih dengan suara lirih, Bana berujar penuh penekanan, "Jujur aja, gue sebenernya juga kesel banget tingkah lu. Rasanya gue pengen mukul lu kenceng-kenceng, Bang Jati! Dasar …."
Jati mendengus. "Gue udah nyuruh Haw buat gak nangis, lu seharusnya juga nunjukin sikap yang sama dong. Jangan bikin gue ngomong dua kali." Dia membuang muka, lantas berujar kian lirih—entah terdengar oleh bocah-bocah itu atau tidak, "Gue muak lihat wajah kalian kayak gitu …."
Memandang mereka kembali, Jati melanjutkan dengan gaya bicara menyebalkan—meski cenderung pelan dan tak persis seperti biasa, "Gue melakukan ini bukan buat kalian. Pekerjaan bakal kacau kalau kita bertiga sama-sama terluka, nanti siapa yang mau gantiin gue nganterin paket?"
Bana spontan mendongak menatap Jati, mengerutkan alis kesal. "Jadi lu gak peduli sama kami sama sekali?"
"Ya kagak lah. Mau kalian nyemplung sungai gue juga gak peduli." Jati menggerutu, "Lagian waktu gue nyemplung selokan, kalian juga gak peduli."
"Seberapa dendamnya sih lu sama insiden masuk selokan itu?" Bana meletakkan tangan di pinggang.
"Oh. Jadi gitu!" Haw tiba-tiba berubah mengerikan, matanya bak laser merah yang siap membelah apa pun. Dia mengangkat kepalan tangan. "Kita kayaknya harus selesaiin ini sekarang, Bana."
"Tentu." Bana menirukan gaya gadis itu, seolah di belakang terdapat latar merah, sedangkan dirinya tampak gelap penuh bayang-bayang. Dia membenahi kacamata. "Bang Jati, pasti nyaman ya tidur di kamar rumah sakit. Ada ranjang, AC, dan makanan gratis."
"Jadi, berbaringlah di situ …," Haw membuka mata lebar-lebar seraya memasang senyuman aneh, "selamanya!"
Jati memandang dua bocah itu bergantian dengan keringat dingin bercucur. "Eh … anak-anak?"
Sekejap kemudian, Haw sudah mengangkat bantal yang dibawa dari sofa panjang di salah satu sisi ruang. Kemudian tanpa ragu menghantamkannya ke pria muda itu. "Mampus lu! Mampus lu!"
"Haw …." Jati merintih. "Bentar, gue bisa jelasin—"
Tiba-tiba saja, Bana meletakkan selimut yang masih terlipat, tepat di atas wajah Jati. Membuatnya yang semula duduk di ranjang, terdorong hingga jatuh menjadi tiduran. "Dasar …," pemuda itu geram, "cepetan tutup mata dan jangan dibuka lagi!"
Meski begitu, Haw sesungguhnya nyaris tak mendorong batal yang berada di atas perut Jati sama sekali. Dia sekadar menampar-nampar benda itu sehingga menimbulkan dentuman beberapa kali, seolah sedang menghajar Jati.