Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #27

26: Maukah Kau Datang untuk Mendengarkan Kata-kata Perpisahanku?

“Lu serius?” Bana duduk menyandar di kursi panjang, memandang Haw yang membolak-balik buku bersampul putih. Keduanya telah berada di tempat yang bersebelahan dengan Ruang CEO T-Grandis Express, sejak lima belas menit lalu.

Tempat ini sepertinya gudang pribadi milik orang nomor satu di perusahan ekspedisi tersebut. Semua barang-barang mereka ada di sini; termasuk pakaian, topi hitam milik Jati, dan tentu saja Buku Kinantan. 

Haw sekadar mengangguk kecil, tak mengalihkan pandangan dari tulisan di tiap halaman buku.

Bana menghela napas panjang. Saat datang kemari beberapa menit lalu—usai mandi di kantor ini, dia sudah mendapati Haw berkutat dengan buku tersebut, dan entah sampai kapan. “Bang Jati bilang kita gak boleh nyentuh itu, ‘kan?” Dia lantas bangkit dari kursi. “Ayo, kita cari sarapan dulu!”

“Lu masih mau dengerin orang itu?”

“Apa?” Bana spontan berhenti di ambang pintu, berbalik guna memandang gadis itu. Sungguh tak habis pikir dengan ucapan entang Haw barusan.

“Gue gak peduli lagi mau Jati bilang apa. Hal-hal buruk udah tertulis di buku ini, bukannya itu kesempatan buat kita? Kalo udah ada petunjuk, kita bisa lebih mudah nyari cara buat menghalangi. Sekarang …,” dia menekankan bicara, “gue bakal mati-matian melakukannya!”

“Haw …,” Bana menggertak keheranan, “tapi Bang Jati—”

Gadis itu tiba-tiba menatap Bana. “Lu tega lihat Jati kayak gitu? Di Buku Kinantan semua tertulis. Semisal lu udah kalo dia bakal kenapa-napa lagi, apa lu bakal diam aja dan lihat semuanya terjadi?” Suara Haw melirih, “Padahal lu bisa menghalangi ….”

Menghela napas gusar seraya membuang muka ke sembarang arah sesaat, Bana lantas memandang gadis itu lekat-lekat. Sebelum akhirnya meninggalkan ruang. “Jangan terlalu maksa diri, lho.”

Perlahan, senyuman Haw mengembang.


“Gue bakal nyusul bentar lagi.”

“Lu gak apa-apa sendirian?” Bana belum juga beranjak dari depan warung, di pinggir jalan. Dia masih khawatir walau gadis itu mengangguk tanpa ragu. “Hati-hati lho, ya.”

“Iya, iya, ngerti. Gak usah sewot kayak ibu-ibu tetangga.” Haw langsung berbalik dan berlalu. Pandangan tertuju pada Kantor Pusat T-Grandis Express yang menjulang tinggi, seratus meter darinya. Dia melambai sesaat tanpa menatap Bana di belakang.

Haw kembali ke gudang tepat di sebelah Ruang CEO T-Grandis Express. Pagi tadi dia tak menemukan apa pun di Buku Kinantan, hanya detail-detail tak berguna saat mereka datang ke Six Seat Magical Cafe beberapa hari lalu hingga mampir di rest area Purwokerto.

“Ah, di sini.” Haw akhirnya menemukan sesuatu yang diasumsikan sebagai peristiwa kecelakaan kemarin. Pecahan kaca, sesuai ucapan Bana. Kemudian di baris paling bawah, terdapat tulisan yang menarik perhatiannya habis-habisan.

Permintaan maaf terakhir.

Haw seketika mematung. “Apa maksudnya ini?” Seluruh organ dalam tubuhnya terasa bekerja lebih cepat daripada biasa. “Dan kapan? Gue gak boleh telat!” Dia membaca tulisan, lantas terkesiap bukan main.

Fajar pertama dari jendela no. 317, menyilaukan.

Rumah Sakit Bakti Negara. Tiap langkah cepat di sepanjang koridor, menimbulkan dentuman kencang. Haw memasuki lift, menekan tombol bertulis angka tiga. Dia tahu, nomor di kalimat itu presisi, kamar yang ditempati Jati. Pemuda itu datang setelah senja kemarin. Artinya, fajar pertama adalah hari ini.

Begitu bunyi bel khas terdengar dan pintu terbuka, Haw berlari. Dia hafal koridor sebelah mana yang akan membawa menuju kamar Jati. Melalui meja perawat—dan kebetulan ada dokter di sana, Haw sekilas mendapati seseorang familier.

Saat ranjang didorong melintas ujung koridor.

Lihat selengkapnya