"Lu masih mau melakukan itu lagi?" Bana mengubah posisi duduk menjadi miring demi menghadap Haw sempurna. Percaya diri dia mengabaikan kemudi yang berada di sebelahnya, lantaran truk dalam kondisi menepi di pinggir jalan dengan mesin telah dimatikan. "Lu lihat sendiri kan kemarin? Apa yang tertulis di Buku Kinantan bener-bener omong kosong!"
Haw mendecak, menyandar kursi kasar. Gadis itu masih kesal bukan main bila teringat peristiwa hari lalu. Bukan hanya malu karena telah merecoki dokter atas omongan melantur Jati, dia juga merasa dibodohi oleh Buku Kinantan.
"Bener, 'kan? Jadi ya udah deh—"
"Gak bisa." Haw memandang depan fokus buyar. Meski begitu, tekad bulatnya terlukis nyata.
"Haw," Bana menggertak pelan. "Kenapa sih? Lagian, pagi tadi kita baru aja menemui Bang Jati, 'kan? Dia kelihatan gak apa-apa."
Dia memang kesal akan upaya menghalangi apa yang tertulis di Buku Kinantan terakhir kali, yang gagal. Akan tetapi, itu tak cukup untuk membuatnya goyah. "Kali ini bener-bener gak bisa."
Sejenak Bana memandang lekat Haw tanpa bisa berkata, dia sama tak habis pikir. "Apa lagi sih yang lu lihat di buku itu?"
"Bana." Perlahan, pandangan Haw bergeser menuju pemuda itu. Di saat bersamaan, garis wajahnya berubah, dia sama sekali tak menyembunyikan sedikit pun dari rasa khawatir yang menggelayuti tiada ampun saat ini. "Gue takut."
“Bodo amat, gue beli buat sendiri. Jati gak dibeliin, salah siapa ngeselin.” Kemarin, Haw bergumam sepanjang koridor dari lift—dia baru saja meninggalkan minimarket yang berada di lantai satu—menuju salah satu kamar rumah sakit. Gembira menentang kresek kecil berisi yogurt.
Mendadak dia menghentikan langkah saat hendak berbelok. Tepat di sebelahnya, terdapat meja perawat—kebetulan ada beberapa dokter di sana, dan sayup-sayup terdengar pembicaraan, mereka, "Kondisi pasien Jati masih dalam masa pemantauan. Walau dari luar terlihat jauh lebih membaik, itu tak menjamin dia akan terus baik-baik saja."
“Yah, saya setuju tentang itu,” dokter lain menyahut, “Itulah mengapa, saya ingin perawat benar-benar siaga dalam mengawasi Jati.”
“Itu benar,” kata dokter sebelumnya lagi, "Jati mendapat tusukan dari berbagai benda asing. Bisa saja ada yang terlewat saat operasi—tetap di dalam tubuhnya—dan kita tak menyadarinya. Itu bisa menimbulkan infeksi. Bila tak segera ditangani, ini bisa berbahaya."
"Dokter kok gak bilang apa-apa ke kita?" Bana spontan berteriak, merasa tak terima, usai mendengar cerita Haw.
"Om Rawi pasti dikasih tahu, mustahil kalo enggak. Tapi dia …." Haw tak berselera melanjutkan kata-kata, memilih menghela napas seraya menunduk lesu. Membuat kabin sejenak terasa sesak tanpa seorang pun bicara.
"Bana." Haw perlahan mendongak, menatap lekat si pemuda yang agaknya sangat kalut dengan pikiran sendiri. Dia sangat serius, tetapi sedikit aneh lantaran sorot mata gadis itu miris. "Lu mau tahu apa yang gue temukan di Buku Kinantan?"
Memburuk.
Bana terbelalak. "Itu berarti …."
"Apa yang dikhawatirkan dokter itu benar-benar bakal terjadi, dalam waktu dekat. Om Rawi mungkin gak mau kita khawatir, dan dia tahu kalo gue pasti gak bakal tinggal diam. Itulah kenapa, dia sengaja gak ngasih tahu kita.”
"Tapi … kita bisa apa? Kita bukan dokter."
"Selama biaya rumah sakit Jati masih ditanggung Om Rawi, kita gak bisa berbuat apa pun.” Haw menatap depan sesaat. Menarik napas dalam, meletakkan tangan ke dalam saku jaket T-Grandis Express—milik Jati—yang dia kenakan, lantas memandang pemuda itu lagi. “Tapi, kalo kita menanggungnya sendiri …."
"Lu ada rencana?"
Haw mengangguk. "Lu mau bantuin gue?"