Beberapa kereta api telah berhenti di jalur rel sejak Haw memasuki stasiun—tak terlalu mengejutkan, bahkan sesuai dugaan. Meski begitu, itu masih membuatnya sedikit gugup. Dia cepat menganalisis sekitar, mencari tempat memesan tiket. Usai menemukan, Haw berlari kecil menghampiri.
Wanita muda di balik meja agak panjang tersenyum. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Satu tiket dewasa ke Boyolali—” Haw spontan memejam mata erat. Usai lebih dari enam belas tahun dia tinggal di sana, bagaimana bisa sekarang tiba-tiba melupakan sesuatu yang cukup penting; tak ada stasiun di daerah itu. Mau tak mau harus memilih pemberhentian terdekat di kota lain. “Maaf, maksud saya Klaten.”
“Baik.” Wanita itu beralih menatap layar komputer “Tujuan Stasiun Klaten. Keberangkatan terdekat, pukul dua puluh dua lebih empat puluh enam, tersedia KA Jayakarta, KA Argo Dwipangga, KA—”
“Itu …,” Haw menoleh ke arah jalur rel kereta api di sebelah kiri, “apa gak menuju ke Klaten?”
Wanita muda itu terkejut. “Keberangkatannya kurang dari lima menit lagi. Yakin, tak apa?”
Dengan pandangan yang masih tertuju pada kereta, Haw mengangguk. “Tolong selesaikan reservasi secepatnya, saya gak masalah walau mendapat tiket berdiri!” Sedikit, mata gadis itu menyipit. "Saya gak bisa buang-buang waktu."
Pengumuman stasiun terdengar seperti gumaman di telinga gadis itu. Meski begitu, dia memahami dengan pasti; kereta akan segera berangkat. Jalur rel terdekat. Argo
Dwipangga Luxury (10L), Eksekutif (H).
Bukan yang itu.
Haw bergegas menaiki tangga kecil di dekat pintu masuk gerbong tersebut. Lantas melangkah menuju sisi seberang—bermaksud menyeberang, dia mendapati kereta di jalur rel kedua.
Argo Dwipangga (10), Eksekutif (J).
Itu dia.
Haw bergegas bersiap untuk turun. Akan tetapi, tubuhnya tiba-tiba tersentak. Kereta bergerak. "Bentar!" Dia lantas spontan mengumpat kencang dalam hati. Detak jantung berdetak tak karuan. Pandangannya bergeser ke kanan kiri cepat, mencari-cari apa yang bisa dilakukan.
Merasa tubuhnya sudah lebih stabil, Haw mengeratkan pada pinggiran pintu gerbong. Membulatkan tekad, lantas menggunakan kaki terkuat untuk membuat tolakan. Dia melompat turun.
Tak peduli telapak kaki dan lutut terasa panas saat menapak tanah, Haw tak punya banyak waktu, dia bergegas lari. Mengejar perbatasan ujung gerbong, di mana terdapat pintu terbuka agar dia bisa meraih kereta tersebut.
Akan tetapi, langkahnya tak kunjung menyusul.
Gimana kalo gue gagal lagi? Pertanyaan itu menguasai benak, membuat pikirannya berantakan. Melihat Jati tampak pucat, ditambah dengan perban sialan melilit tubuhnya, Haw nyaris tak sanggup. Mana mungkin dia bisa memandang pria muda itu bila kelak tergeletak di ruang khusus tanpa dirinya boleh masuk?
Gak mau ….
"Jati …." Haw merentangkan tangan. Tersisa setengah meter sebelum dia berhasil meraih besi pegangan di dekat pintu gerbong. "Kali ini gue pasti bakal berhasil. Gue gak bakal bikin Jati terluka lagi!"
Otot kaki terasa panas, tetapi dia terus memaksa untuk berlari lebih cepat. "Ayo!" Gadis itu mengangkat tangan sedikit lebih tinggi, kemudian menggenggam erat. Sayang, tak ada apa pun berlalu di jarinya selain angin. "Sialan …."
Justru sebuah kenangan yang seakan-akan digenggamnya dan berputar dengan begitu jelas di angan seperti rekaman paling baru.