Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #30

29: Satu Teriakan Nama Lagi

Menghela napas barat, Haw menggeser posisi tubuh agar bisa menyandar permukaan gerbong. Terpaan angin menghantam wajahnya kencang-kencang, seiring kecepatan kereta terus meninggi.

Perlahan, detak jantung berangsur stabil. Kepala yang bagai ingin meledak, perlahan terasa lebih dingin. Sensasi panas dan menusuk di lengan tak kunjung mereda, tetapi dia sepertinya mulai bisa membiasakan diri.

Haw menjatuhkan tangan kiri tanpa daya ke samping tubuh, tak lagi memegang erat lengan kanan. Tanpa tujuan khusus gadis itu mengeluarkan dua lembar kertas dari saku. Yang satu berwarna coklat, bertulisan angka lima ribu. Semenrata lainnya putih dengan ukuran lebih kecil, KA Argo Dwipangga 10, Eksekutif J. Tanpa_Tmp_Duduk.

Menghela gusar singkat, dia menyimpannya kembali. Pikiran sedikit tenang membuat Haw menyadari sensasi nyeri di sekujur tubuh. Tangan kiri yang kosong itu kini sibuk memijat bahu. "Apa gue emang bekerja terlalu keras …."

Entah berapa kotak yang gadis itu turunkan dari truk guna diserahkan sesuai alamat tertera. Dia hanya mengingat selembar uang demi uang yang terkumpul dari tip dari para penerima paket. Usai membeli tiket kereta, Haw tak tahu apakah masih ada cukup lembaran di dompet untuk mencari transportasi dari Stasiun Klaten menuju rumahnya di Boyolali.

Untuk sekian lagi, Haw menghela napas. "Setelah gue dapat semua uang di rumah, semua pasti bakal sedikit membaik." Mengangguk kecil guna meyakinkan diri, gadis itu tetap tak bisa memungkiri bahwa rasa mengusik tak jelas masih menghantuinya semenjak meninggalkan Bana di sekat warung pinggir jalan.

Raga penuh bimbang itu kembali lagi. Haw benar-benar tak tahu apa yang dikhawatirkan. Dahulu, dia gusar sendiri karena merasa aman di dekat Jati yang merupakan orang asing. Sekarang, apa lagi?

Memegang kepala erat, gadis itu berusaha menenangkan diri. Namun, percuma saja, pikirannya justru kian dikuasai oleh hal-hal mengerikan. Tulisan di buku itu, memburuk. Ucapan para dokter, bila tak segera ditangani, ini bisa berbahaya.

Haw mengerang gusar, tak tahan lagi, "Kenapa semua—"

Dering panjang agak asing mengalihkan perhatian gadis itu. Dia baru teringat bahwa ponsel Jati ada di saku. Mengambil dan memeriksa ada apa gerangan, sepasang alis spontan bertaut. Bos.

"Siapa? Om Rawi?" Mendengus, suasana hati gadis itu mendadak kian memburuk. "Harus ngomong apa gue? Dia pasti ngomel!"

Parahnya, lagi, beberapa waktu lalu, Bana berpesan padanya untuk mendengarkan baik-baik apabila ada seseorang yang menelepon. Meski terkesan bodoh, Haw merasa begitu terusik hanya untuk memikirkan tentang mengabaikan ucapan pemuda itu.

Mendecak kesal, Haw menggeser tombol hijau kemudian meletakkan ponsel di telinga. Sebelum terdengar apa pun, dia sempat menggerutu, "Dasar … cowok itu nitip pesen yang ngerepotin banget. Kenapa juga gue harus dengerin omelan Om Raw—"

"Haw!"

Seketika gadis itu terbelalak. Detak jantungnya bak berhenti. Suara dari balik sambungan telepon tersebut bukan sesuatu yang dia sangka akan dengar. Teriakan khawatir itu, jelas bukan dari pria CEO ekspedisi!


Langkah cepat menggema sepanjang koridor rumah sakit. Keringat bercucur membuat sekujur tubuh terasa panas, tetapi Haw tak peduli. Melirik lift sedang berada di lantai lima belas, dia mendecak lantas memutar arah menuju tangga.

Sementara, sekian puluh menit lalu, sesaat setelah sebuah suara tak asing terdengar dari balik sambungan suara, dia seakan-akan ditampar habis-habisan hanya dengan sebuah pertanyaan, "Lu mau ke mana?"

Hembusan angin yang terus menerpa selagi kereta belum berhenti, sedetik lalu terasa sejuk. Akan tetapi, saat ini justru membuatnya sesak. Haw melipat bibir, berat hati untuk bicara. "Pulang …."

Lihat selengkapnya