"Gue minta Om Rawi nge-laundry jaketnya Bang Jati. Lihat deh," Bana membuka bagasi sedan putih milik sang orang nomor satu di T-Grandis Express, "wangi, 'kan?"
Haw mengernyit sejenak begitu hembusan pelan angin di parkiran rumah sakit menerpa. Sinar matahari sudah tak terlalu menyengat lantaran jarum jam telah sedikit-sedikit menyentuh angka empat untuk kedua kalinya hari ini. Dia asal merebutnya saat Bana menyodorkan pakaian corak coklat hijau itu, lantas mendekatkan ke hidung. "Oh, bener banget! Ternyata Om Rawi mau aja disuruh sama lu."
"Woi, Bocah-bocah!"
Keduanya spontan menoleh. Haw langsung tersenyum lebar. "Jati!"
Bana membuka mata lebar, terus mengunci pandangan pada si pria muda yang melangkah ke arah mereka. "Bang Jati, hari ini udah boleh pulang?"
"Ya." Jati asal merebut jaket T-Grandis miliknya dari Haw. Dia cekatan memutar, menimbulkan efek melayang di udara, sebelum melingkar sempurna di pundak pria muda itu.
Jati memasang tiga kancing kemeja bagian atas yang sesaat lalu masih terbuka. Menampilkan lilitan perban di tubuhnya, meski sedikit samar lantaran warna keduanya sama-sama putih. "Mana Bos? Kita harus buruan balik ke kantor, 'kan?"
Bana terkejut. "Bang Jati mau kerja? Luka lu belum sepenuhnya sembuh, 'kan? Apa kata Dokter, coba? Pasti disuruh istirahat dulu, hmm?"
Jati mencibir, "Cerewet amat sih lu." Agak kasar, dia memasukkan satu per satu tangan ke dalam lengan jaket. "Gak ada gunanya gue berlama-lama di rumah sakit. Yang ada si CEO itu motong gaji gue lagi dan lagi."
"Enggak, enggak. Lu salah, Bana, karena khawatirin Jati." Haw mendekat ke pria muda itu. "Dia tuh gak punya sakit, walaupun digampar kayak gini!"
Jati spontan menghindar saat Haw tiba-tiba melayangkan pukulan ke punggungnya. "Sialan! Lu ngapain, dasar bocah!" Melihat gadis itu tak mau berhenti, dia tanggap merentangkan salah satu tangan guna menahan kepala Haw agar pukulannya yang berayun tak bisa sampai.
Jati mendengus, menoleh kembali ke Bana. "Yah, lagian gue juga gak tega lihat kalian berdua terlantar, gak ada yang ngurus. Dan …," dia melirik sedikit ke arah sebelumnya, "gue gak bisa membiarkan seseorang kabur lagi."
Haw tersentak. Kedua tangan yang mengepal berusaha menghajar Jati, seketika diturunkan. Sorot mata pria muda itu tajam dan kian menjadi-jadi, membuatnya tak bisa berkata. Dia membuang muka seraya mengerucutkan bibir.
Gerbang Kantor Pusat T-Grandis Express ditutup kembali usai sedan putih sang CEO memasuki halaman. Melewati beberapa truk dan sepeda motor para kurir, lantas berhenti di sepetak cukup luas dari bangunan itu yang memang didesain sebagai parkiran khusus.
"Banas, Haui … truk kalian udah siap di depan. Paket-paketnya juga selesai diangkut. Tinggal ambil data rekapnya, ada di kantor."
Haw bersiap turun. "Iya, Om. Gue segera—"
"Kalian berdua langsung ke truk." Jati melirik Rawi meninggalkan sedan. "Biar gue yang ambil rekapnya." Tanpa menatap Haw dan Bana, dia membuka pintu sebelum menyusul langkah sang atasan.
Bunyi khas pintu Fero ditutup terdengar beberapa saat setelah Haw duduk di kursi kabin bagian tengah—sedangkan Bana di sisi kiri. "Tumben banget Bang Jati gak nyuruh-nyuruh kita."
Helaan napas Haw datang begitu saja, hampir seperti menyela ucapan Bana. Gadis itu asal melempar jaket T-Grandis Express milik Jati—yang sebelumnya dibawa semenjak berada di mobil Rawi. Dia menutup wajah menggunakan tangan, duduk menyandar dengan lutut tertekuk karena dua kaki diangkat ke pinggiran kursi.
Bana memandang gadis itu nanar. "Gak apa?"
Haw menggeleng pelan.
"Masalah kemarin?"
Gadis itu ganti mengangguk.
Makin hening gadis itu, membuat Bana kian tak bisa mengabaikannya. Padahal, di hari biasa Haw selalu banyak mengoceh. "Gue rasa Bang Jati gak bermaksud marah."
"Gue bikin Jati kecewa." Haw tetap menyembunyikan wajah, menjadikan suaranya terdengar seperti tenggelam dan agak menggema. "Gue berusaha melindungi Jati, tapi ujung-ujungnya gue malah nyakitin dia!"
Bana memperbaiki posisi duduk menjadi miring, agar dapat menghadap gadis itu sempurna. "Bang Jati cuma khawatir …."
Lagi-lagi menghela napas gusar, Haw menyibak rambut seraya menjauhkan tangan dari wajah. Dia menatap depan dengan fokus buyar. "Iya sih mungkin …. " Gadis itu memegang kepala erat. Meski begitu, tetap sulit mengubah apa yang telah menancap dalam dirinya. "Tapi …."