“Di mana sih? Katanya stasiun lama tuh di sini.” Gadis itu menyusuri deretan toko kecil yang tutup. Makin jauh dari jalan aspal, kian sederhana stan di sana. “Beneran ada pasar ternyata, walau sepi. Mungkin besok buka lagi.”
Cahaya jingga telah sepenuhnya digantikan oleh pekat cakrawala malam. Rembulan telah bertengger di salah satu sudut langit, seolah mengawasi dengan cahaya bulat sempurna. Haw tak bergeming sama sekali. Bahkan bila harus bermalam di pegunungan gelap, dia tak akan takut.
Hening menemani kian setia, derap langkah sendiri menjadi terdengar kencang. Haw agaknya kini paham akan kerja Buku Kinantan. Tulisan ajaib itu mengatur apa yang akan dilakukan oleh Jati.
Mengajak Jati berbicara, tak akan membuat pria muda itu menghindari tempat ini dengan alasan apa pun. Selama ini dia selalu mengetahui tiap kali Haw memiliki rencana untuk mencegah peristiwa yang tertulis di Buku Kinantan terjadi, mungkin itulah penyebab mengapa upayanya tak pernah berhasil.
Jadi, cara satu-satunya untuk menghindar peristiwa tertulis di buku itu adalah mencegah apa pun yang ada di tempat, agar tak bisa menyakiti Jati. Tentu, kali ini Haw akan melakukan tanpa sepengetahuan siapa pun. Selama pria muda itu tak datang kemari sebelum sesuatu di sini beres, tiada alasan untuk upayanya gagal.
“Oh, itu stasiunnya. Bener-bener ada.” Entah mengapa, Haw tanpa sadar melangkah sedikit lebih jauh saat melewati rel kereta. Melihat di dua sisi terdapat palang, jalur ini sepertinya masih bekerja.
Gadis itu kembali mengamati sekitar. Area di sekitar sini sulit dipantau, banyak titik tersembunyi, gelap, dan berkelok-kelok akibat banyaknya stan pasar. “Yah … ini emang tempat sempurna, kalo ucapan Bana bener; tulisan di buku itu bagai pesan dari si jahat.”
Di sisi kiri dari jalan kecil—tanpa aspal dan hanya selebar satu meter—yang dijelajah gadis itu, terdapat banyak pagar sederhana membentuk kotak-kotak dengan berbagai ukuran, ada tali pula. Di sana pasti akan ditempati hewan ketika matahari telah bersinar dan pasar dibuka kembali.
Haw menyipit, berusaha mengidentifikasi bangunan besar dan terang yang terkesan mencolok, sekitar empat ratus meter darinya, hampir lurus dengan arah rel. Stasiun Purwokerto yang baru dibangun.
Agak menyedihkan membayang keramaian tempat ini harus direbut dan dipindah ke sana. Bangunan tua tampak lapuk yang sama-sama bertulis stasiun ini seakan-akan menangis lantaran tiada lagi seorang pun menoreh perhatian padanya.
“Gak ada apa-apa.” Haw menggaruk rambut tak gatal, malah mulai bosan. Mendapati pria paruh baya memasang papan-papan kayu untuk menutup toko kecilnya, gadis itu segera menghampiri. “Bapak.” Dia menyodorkan pakaian corak hijau coklat yang semula tersampir di sebelah pundak. “Kenal orang-orang yang nyari pemilik jaket ini?”
Pria paruh baya itu menoleh, tampak bertanya-tanya. “Saya aja gak tahu itu apaan.” Dia menyelesaikan papan terakhir yang perlu dipasang, lantas menatap Haw lagi. “Adeknya ngapain di sini? Bahaya lho, malam-malam di sini sepi. Kalo mau barengan, ayo sama saya balik ke jalan raya. Kalo enggak ya udah, saya buru-buru.”
Haw mengangguk kecil, mempersilakan pria paruh baya itu pergi sendirian lantaran dia belum ingin meninggalkan tempat ini. Orang tersebut sempat menatapnya khawatir, tetapi kemudian tetap melanjutkan langkah.
Sekali lagi, Haw menggaruk rambut tak gatal. “Dia gak terlihat kayak orang jahat, bener-bener baik malahan.” Gadis itu lantas tersentak. “Apa jangan-jangan kali ini emang bukan hal buruk yang bakal terjadi?”
Kembali melangkah menyusuri tempat ini lebih jauh, perlahan dia memasuki halaman depan stasiun lawas. Haw berpikir, “Yah … lagian, ada beberapa hal baik yang tertulis di Buku Kinantan sih.” Gadis itu mengerutkan alis. “Jadi, kayaknya gue aja yang terlalu—”
Jaket bertulis T-Grandis Express yang menggantung di sebelah pundak, tiba-tiba merosot ke belakang—terlalu cepat bila diakibatkan oleh gravitasi. Gadis itu spontan berbalik, lantas mendapati delapan lelaki usia dua puluhan. Dia berlagak menggoda, “Apaan? Jadi bukan om-om berbadan kekar yang datang?”
Salah seorang lelaki yang berada paling dekat dengan Haw, bicara, “Sama siapa lu ke sini? Jangan bilang, sendirian? Emang bego ya, bocah ini. Tapi walau begitu, otak minim lu bakal mempermudah pekerjaan kami.”
“Bukan urusan lu, dan gue gak bego! Gue sebenarnya bisa masuk SMA favorit, cuma gue aja yang gak mau.” Haw mendengus, melipat tangan di depan dada. Tak bergeming walau seluruh dari mereka melempar tatapan tajam. “Lagian, kenapa jam segini malah ngumpul di sini? Gak punya pacar, ya? Padahal udah tua ….” Dia tertawa sok jijik. “Kalau gitu sama dong kayak orang ngeselin yang gue kenal.”
“Yah … sesungguhnya gue juga kaget.” Lelaki itu memasang senyum miring yang membuat Haw mual. “Padahal kami masih lagi nyari umpan, kenapa malah langsung dapat ikan emasnya?”