“Mami, Papi ….” Lama-kelamaan, Haui kecil goyah. Larinya melambat, hingga kemudian berhenti. Di sekitar penuh mobil, dia bersembunyi di balik salah satu. Kemudian menoleh ke arah terakhir kali wanita dan pria itu berada. Namun, mereka tak lagi tampak. Gadis itu langsung merengek, matanya kian berkaca-kaca, “Di mana?”
Haw kecil lantas mendadak terkejut. Jangankan melihat dua orang familier itu, dia justru mendapati orang serba hitam. Lagi-lagi seolah menatap kemari. Kian dekat daripada sebelumnya.
“Jangan ….” Gadis mungil itu sedikit menekuk lutut lantaran ketakutan. “Haui, gak salah apa-apa.” Jemarinya yang berpegangan pada mobil milik orang asing, menggenggam kian erat.
“Pergi …,” suara gadis mungil itu nyaris tak terdengar. Usai beberapa kali berusaha menahan tangis, dia berkata sedikit lebih tegas, “Pergi.” Mendapati orang serba hitam itu tak kunjung beranjak, dia lantas merengek, “Haui bakal jadi anak baik, jadi jangan ….”
Gadis mungil itu terlampau ketakutan. Dia menggeser posisi tubuh agar berada di balik mobil sepenuhnya. Pelan-pelan, lutut menjadi tertekuk. Duduk beralasan aspal dingin. Memegang kepala sambil menunduk, membuat surai panjangnya menjuntai menutup wajah. “Haui gak bakal ngelawan Papi Mami lagi, jadi kumohon jangan ….”
“Gak usah ngada-ngada.” Lelaki itu mulai memberi tanda pada rekannya untuk bersiap, andaikata cara ini memang tak memberi keuntungan bagi mereka.
“Gue gak lihat apa pun ….” Hanya orang itu, satu warna pekat yang diingat Haw. Dia masih merasa atmosfer mencekam di sekitarnya, tak berubah sedikit pun, dan masih sanggup membuatnya kian bergeming. “Sungguh, gak ada apa-apa lagi.”
Lelaki itu semakin habis kesabaran. “Udah cukup omong kosong lu.”
“Gue bukan …,” Haw sungguh mengatakannya, dia ingin memastikan dirinya tak bohong, dan itu membutuhkan pemanggilan ulang akan memorinya makin dalam, “omong kosong.”
“Apa sudah tak apa?” Haui kecil bergerak perlahan. Bercampur cemas dia menengok dari balik mobil. Spontan saja, gadis itu jatuh terduduk. Mendongak, memandang ngeri seraya terus merangkak mundur.
Si Serba Hitam itu tiba-tiba sudah berada sepuluh meter darinya. Melangkah mendekat dan terus memotong sisa jarak di antara mereka. Wajah orang tersebut tak kunjung terlihat, justru aura pekat mengerikan—seperti hewan buas kelaparan—yang kian terasa.
Tiap langkahnya tegas dan cepat. Seakan-akan sirine tanda bahaya berbunyi kian kencang seiring orang itu kian mendekat. Haui kecil tak tahu apa yang akan Si Serba Hitam tersebut hendak lakukan, tetapi dia jelas tak akan menyukainya.
“Jangan … Jangan.” Meski dengan sekujur tubuh yang terasa panas, detak jantung kencang membuat dadanya sedikit-sedikit nyeri; gadis itu berdiri, berusaha memekik dengan sisa keberanian terakhir—walau dia sesungguhnya sangatlah ketakutan, “Jangan!”
“Terlalu banyak orang di bandara.” Tidak, itu salah. Bahkan yang ada di hadapannya saat itu hanyalah satu orang. Seluruh fokus tertuju ke sana, tanpa membuyar sedikit saja. “Gue ….”
“Ini kesempatan terakhir lu.” Lelaki itu tak mau menunggu lebih lama. Dia menarik napas, bersiap bicara dengan tegas di tiap katanya, “Apa yang lu lihat hari itu?”
Tidak …. Haw benar-benar ingin berhenti. Akhir dari kenangan itu bukan sesuatu yang ingin dia rasakan kembali, justru sebaliknya. Namun, kian keras dia berusaha melupakannya, makin jelas rekaan-rekaan lawas tergambar di kepala. “Hentikan!”