Jati melingkarkan jaket di atas Haw. Lantas berbisik, "Pegang erat-erat, ngerti? Gue gak punya cukup tangan." Meski tak membuka mata, dia berharap gadis itu masih sadar—dan dia sangat-sangat ingin percaya akan hal tersebut, meski hampir sepenuhnya ragu.
Sedikit menunduk, sebagian parasnya tertutup bayang-bayang sendiri. Jati menyelipkan satu tangan di bawah lutut gadis itu. Kemudian sendiri tegap kembali, sambil menggendong Haw di depan. Surai gadis itu yang terkulai di lengan, beban kepala yang menyangga dadanya; Jati merasakan dengan pasti.
Menarik napas dalam pelan, pandangan Jati yang semula tertuju pada gadis itu, beralih ke para lelaki di sana. "Jangan bercanda tentang dapatin ikan mas sebelum umpan. Mimpi. Itu cuma deluasi yang jadi tanda bakal datangnya hal buruk!"
"Apaan?" Lelaki di sana memandangnya sebelah mata. "Lu juga mau ikut menemui orang itu? Bagus kalo gitu, biar cepet."
Jati tiba-tiba berteriak, kencang sekali. "Gue gak bercanda!" Dia tahu mereka mulai serius. "Siapa … yang nyuruh kalian?"
Tak ada jawaban. Mereka sekadar memandang tajam.
Jati seharusnya tak tahu; tetapi tiap kali mengatakan itu pada diri sendiri, dia merasa sedang berbohong. Memejam sesaat, Jati berusaha menenangkan diri. Meski begitu, perasaan mengusik itu tak hilang dan mendadak malah menguasainya.
Tak tertahan, Jati lantas memekik, "Siapa yang nyuruh lu?" Pria muda itu benar-benar gusar, nyaris lepas kendali. Sesungguhnya dia tak menginginkan jawaban, lantaran terlalu takut bila harus kecewa usai mendengarnya, atau bahkan mengamuk.
Tetap tiada respons. Namun, rasanya, itu mungkin memang yang terbaik. "Kalau gitu …," dia bicara lirih penuh penekanan, "katakan ke orang itu … agar menunjukkan wajahnya di depan gue tanpa topeng, kalau berani. Kalau enggak, maka jangan ganggu dia dan orang-orang gue lagi!"
"Sama kayak cewek itu, lu berisik."
Sesuai dugaan Jati, sasaran mereka adalah Haw. Pukulan mengarah ke gadis itu, dia membalikkan badan, menggunakan punggung untuk berlindung. Sesaat kemudian, langsung berbalik seraya melayangkan tendangan. Tepat sasaran, di dada lelaki itu, membuatnya terpental.
Serangan rekannya datang, semua bersamaan. Namun, Jati cukup tangkas untuk menahan sebagian serangan—lagi-lagi menggunakan punggung, selagi menendang sisanya dari samping hingga terhempas dan melukai rekannya sendiri.
Cepat berbalik, Jati menendang kencang lainnya dari depan, sampai terjatuh. Ada lagi datang, langsung mendapat serangan serupa ke arah samping atas, kemudian belakang, dan terus tiada habis.
Gadis itu dekapannya, sedikit membuka mata. Dia tahu sedang berada di tengah perkelahian. Namun, tangan Jati yang sesekali mencengkeramnya kuat, entah mengapa justru membuat Haw tak takut sama sekali.
Rasa aman yang menggelayuti tiap kali berada di dekat Jati, tumpah ruah. Pria muda itu benar-benar familiar. Seperti mereka telah bertemu jauh sebelum hari ini, sejak belum mengenal satu sama lain, tetapi telah saling percaya.
Mustahil, tak masuk akal. Namun, Haw sungguh merasakannya.
"Gak ada habisnya!" Jati memasang kuda-kuda sambil sedikit mundur, waspada. "Tenaga gue gak cukup kalo pake kaki doang! Buang-buang waktu!"
Jati melirik kanan-kiri sesaat. Mendapati sesuatu, dia langsung mengganti strategi. Dia berlari menuju gerbang masuk stasiun lawas. Menghajar beberapa orang agar menghantam sisa rekannya yang berada tepat di bawah gapura.
Tembok berhias ukiran meliuk-liuk itu penuh retak, di berbagai sisi bahkan telah tanggal. Kaki sebelah kiri gapura terdapat satu retakan—tetapi sangat lebar, Jati langsung menendangnya. "Gue gak punya waktu buat ngeladenin kalian semua!"
Bunyi khas benda-benda berat berjatuhan, terdengar pelan dan berangsur kencang dalam hitungan detik. Gapura stasiun lawas roboh sepenuhnya. Menimpa para lelaki remaja itu. Debu-debu bertebaran, menghalangi sebagian pemandangan.
Tanpa sadar menahan napas, Jati kemudian menghela panjang. “Kita pergi, Haw.” Genggaman Jati pada gadis yang berada di dekapannya, sekali lagi menjadi lebih erat. Dia memutar tubuh, lantas berlari menjauhi mereka. Meninggalkan stasiun lawas, menyusuri pasar demi segera meninggalkan tempat ini.
Cahaya menyilaukan dan bunyi gemuruh berasal dari samping. Pria muda itu melirik sesaat, sambil terus melangkah. Kayu merah putih selang-seling turun perlahan, nyaris menyentuh kepala saat Jati berlalu di bawahnya.
Sesaat setelah melewati rel, kereta api melintas dengan bunyi klakson khas memekik telinga. Bak barikade bergerak, memblokir sisa jalur penghubung terakhir. Mereka berdua akhirnya terpisah dari para lelaki pengganggu di sana.
Truk T-Grandis Express keluar dari salah satu gang pasar, dikendarai Bana. Benda beroda itu sebelumnya nyaris tak terlihat, berkamuflase sempurna dengan pohon-pohon tinggi. Dia membuka kaca jendela sebelah kiri. "Bang Jati!"
"Jati …."
Semula mata tertuju pada Fero yang dibawa Bana, Jati tersentak dan seketika menoreh perhatian pada gadis di dekapannya.
Bana sudah menghentikan Fero di pinggir jalan aspal. Namun, Jati mengurungkan niat untuk segera naik, dia justru mendudukkan Haw di pinggiran toko yang telah tutup. Sisa atap sempit setidaknya menghalau mereka dari hujan deras.
Jati tak akan tanggung-tanggung lagi, usai mengetahui gadis itu sudah sadar—atau memang masih sadar sejak tadi. Dia meletakkan sebelah tangan di dinding belakang Haw, kencang-kencang. Berujar tegas, "Kenapa lu masih menggubris buku itu?"
Haw memandang Jati, dalam sisa jarak di antara mereka yang sangat tipis, dengan pupil bergetar. "Itu—"
“Gue udah bilang, jangan pegang-pegang buku itu!” Jati memekik dan kian kencang di akhir kalimat. Dia menatap tajam Haw, dan seketika gadis tersebut menurunkan pandangan sesaat setelah tersentak.