“Belajar nyetir?” Bana mendengar tuturan mendadak Haw, cukup terkejut. Dia spontan menatap gadis itu sesaat, kemudian kembali melanjutkan memeriksa tombol-tombol kemudi Fero di hadapannya, siap-siap untuk melaju kembali.
Jati berjalan meninggalkan warung di pinggir jalan begitu saja. Menuju truk T-Grandis Express lain juga yang terparkir di pinggir jalan. “Ah, makan siang hari ini mantep banget, dah.”
“Jangan pura-pura gak denger! Kebiasaan!” Haw melempar botol air mineral kosong, tepat mengenai kepala Jati.
Pria muda itu spontan berbalik sambil bersungut-sungut, “Apaan sih lu? Udah siang-siang, panas-panas gini, ada … aja!”
“Gue lihatin Bana nyetir keknya keren banget … gue juga pengen!” Haw memajukan bibir. “Lagian, lihat deh. Kita gak lagi ngirim paket banyak-banyak kayak kemarin. Kalo semua udah diantar dan lu nganggur, mau ngapain?”
“Mau nyantai.”
Haw langsung berteriak kesal tak jelas. “Udahlah! Ajarin gue dikit kenapa sih?”
Lagi-lagi, Jati beranjak pergi. “Minta tolong Bana sana.”
“Sesekali gak apa-apa lah, Bang Jati?” Kepala Bana menyembul dari jendela kaca Fero sebelah kanan. “Paket yang harus lu kirim tinggal dikit, ‘kan? Sini, biar gue yang urus.”
“Gak butuh, gak butuh.”
“Bang Jati ….” Bana mengangkat alis, keheranan dengan tingkah pria muda itu yang cukup kelewatan.
“Udah, udah, gak usah bahas aneh-aneh kayak gini,” katanya masih dengan enteng. “Lagian, nyetir Fero itu gak gampang, lho. Iya, ‘kan Bana?”
Sudut bibir pemuda itu tiba-tiba mengembang. “Nyetir Fero gak sulit buat gue, Bang. Jaman warung masih jaya, Bapak nyewa pick-up buat ambil stok dari distributor. Kadang juga truk ukuran sedang, sampai gede kayak gini. Semenjak gue sendirian, mau gak mau belajar nyetir. Yah, walau itu cuma bentaran doang, karena habis itu warungnya kacau.” Senyumannya menjadi sendu di akhir.
Jati agaknya tak terlalu senang untuk mendengar cerita Bana—ini menjadi bukan lagi menjadi suasana yang tepat untuk bercanda. Dia kemudian mendengus. Toh, Bana tak sedang mencari belas kasihan, Jati lebih perlu menggubris rengekan Haw atau gadis itu tak akan kunjung diam. “Gampang buat lu, belum tentu gampang buat bocah satu itu.”
Haw tampak makin tak terima. “Gue bisa! Gue bisa, tahu! Bisa!”
"Dari mana lu bisa ngomong gitu?" sahut Jati cepat dengan geram. "Haui, lu itu berpikiran terlalu tinggi sama diri sendiri! Gak semua hal di dunia ini tuh gampang, tahu! Putri orang kaya yang dimanja kayak lu tahu apa tentang repot? Hidup lu serba mudah doang soalnya!"
"Enggak kayak gitu sama sekali, ya! Gue—"
"Tuh, tuh, lagi …." Bana menghela lirih. “Selama ini Bang Jati ngomelin Haw terus. Bukannya lu seharusnya ganti nurutin keinginannya?” Dia agak mengerutkan alis. “Apa gak pengen, kebaikan lu akhirnya dianggap sama Haw?”
Jati tersentak, tetapi agaknya dia masih berat hati untuk berubah pikiran.
“Kalo tetep nolak, maka jangan ngomel lagi semisal kami gak mengakui kebaikan lu—”
“Iya, iya!” Jati menyambar cepat. “Terserah elu deh. Urusin sendiri sana!”
Bana tertawa kecil. Dia buru-buru turun untuk mengambil empat kotak dari bak Fero milik Jati, lalu dipindah ke truk yang akan dia bawa. Tak lupa, mengambil alih kertas rekap paket dari pria muda itu.
“Pastikan semua beres sebelum malam! Sekarang hari terakhir paket harbolnas datang besar-besaran, Bos bakal ngamuk banget kalo masih ada aja yang telat diantar!” Dia sekadar mendapat lagak hormat dari Bana, saat pemuda itu melajukan truk dan kebetulan melaluinya.
Jati beralih ke Haw. “Ini terakhir, lho! Gue gak mau nurutin keinginan merepotkan lu kayak gini lagi!” Dia lantas beranjak menuju kabin. “Ayo, cepet sini!”
Haw melonjak gembira.
"Oke, kita mulai dari sini." Jati membawa Fero memasuki stadion terbuka. Seluas mata memandang hanya rerumputan. Selama tak ada acara apa pun diselenggarakan di tempat ini, hampir mustahil orang lain masuk kemari.
“Lu pindah.” Jati membuka pintu truk sebelah kanan dan turun sesaat sebelum menutupnya kembali. Si gadis di kabin bisa langsung melompati tuas persneling guna beranjak ke kursi kemudi, sedangkan pria muda ini harus mengambil jalan memutar.