Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #37

36: Jembatan Kecil dan Es Krim


Haw mengangguk mantap. Jalan raya yang sangat kompleks memaksa fokus terpecah-pecah, tak membuat gentar. Dia menggeser tuas transmisi, memasuki gigi dua. Lantas menginjak gas perlahan, Fero melaju dengan mulus. Tampak percaya diri dengan sesekali melirik spion untuk memastikan posisi kendaraan lain di sekitarnya.

Melirik gadis itu sekilas, senyum miring Jati mengembang. Rupanya sudah tak ada yang perlu diajarkan pada Haw lagi. Lantas duduk menyandar, dia memejam sesaat sambil merasakan hembusan angin dari kaca jendela yang terbuka sepertiga.

Saat tak sengaja membuka mata kembali, Jati agak tersentak. “Bentar, bentar!” Dia bergegas ikut meraih setir, menggesernya ke kanan. “Terlalu minggir! Lihat ada motor di samping, lu bisa aja nyenggol.”

Jati juga mendapati sedan beberapa meter di depan. “Rem!”

Sejurus kemudian, tubuh Jati tersentak ke belakang lantaran kecepatan Fero mendadak meningkat. "Goblok!"

“Eh? Apaan?” Haw malah ikut panik. 

Jati segera membanting setir ke kanan, menghindari agar tak menabrak sedan di depan. Lantas terus menggeser-geser kemudi, nyaris kewalahan, demi terus mengatur posisi truk sedemikian rupa agar tak menghantam kendaraan lain. "Rem, bocah sialan!"

Jati kian keringat dingin, memandang depan dengan mata terbuka lebar, masih sambil mengatur setir, sedangkan Haw sendiri justru melepaskan tangan dari kemudi. “Rem! Rem, sialan!”

Tepat saat Jati menepikan kendaraan, kecepatan berangsur turun hingga benar-benar berhenti.


“Sadar apa yang lu lakuin barusan?” Jati berujar tegas. Meletakkan dua tangan di pinggang, menatap tajam Haw yang kini berdiri dengan punggung menempel pada kepala truk bagian samping—agak ke belakang, di sebelah pintu sebelah kiri—dan dengan tiba-tiba menjadi menciut.

“Bawa kendaraan di jalanan adalah tanggung jawab besar! Gue ajak lu ke sini karena gue percaya sama lu. Tapi nyatanya apa?”

Semula menunduk, Haw kini sedikit mendongak. “Biarin gue coba sekali lagi—”

“Kalo lu mau nyoba lagi, lakukan sendiri. Jangan melibatkan gue, jangan buat gue bertanggung jawab atas tingkah lu.”

Haw tersentak, tak berani lagi bicara.

Menghela napas, Jati melirihkan suara, “Haw … lu emang pantang nyerah, tapi tubuh lu gak bakal kuat.” Sedikit mendekat ke gadis itu, dia berujar lembut, “Lu gak sadar kalo sekarang udah sore, ‘kan?”

Terkesiap, Haw spontan menoleh. Jati benar, matahari bahkan tak menyilaukan lagi lantaran sudah bertengger di ujung barat, terhalau oleh gumpalan awal. Semburat jingganya memenuhi langit bagai sapuan kuas halus.

Sekeliling menjadi terasa hangat lantaran bangunan-bangunan dan deretan kendaraan saling memantulkan cahaya oranye. Haw bahkan nyaris melupakannya, padahal selama ini dia hampir tak pernah bisa mengabaikan angin sore di luar ruangan.

“Lu udah terlalu lama berkonsentrasi, hasilnya gak bakal bagus kalo masih lu terusin aja.” Jati beranjak menuju taman sederhana seluas dua puluh meter persegi, tepat di sebelah Fero menepi. “Kita istirahat dulu.”

Lihat selengkapnya