“Nganterin paket pake Fero sendirian, sebenernya gak buruk-buruk amat.” Sebentar lagi sudah nyaris sepekan sejak Bana diminta membawa truk hanya berdua dengan Haw selama harbolnas. “Kenapa Bang Jati repot-repot ngajakin kita?”
“Dia paling cuma malas doang.” Haw meletakkan siku di jendela kaca truk sebelah kiri yang terbuka. Mungkin sebentar lagi dia sudah tak bisa merasakan sepoi kencang-kencang seperti ini lantaran harus kembali duduk di tengah.
Bana tertawa. Kemudian tiba-tiba teringat sesuatu. “Betewe, gimana kelas mengemudi pertama lu kemarin?”
“Awalnya sih lancar,” Haw menggerutu, “tapi ujung-ujungnya Jati ngomelin gue!”
Bana tertawa. “Itu pasti karena tingkah lu sendiri. Nabrak sesuatu atau enggak lu?”
“Enggak kok!” Haw menyahut cepat, tetapi kemudian suaranya berubah lirih, “hampir enggak ….”
“Hampir enggak? Hampir iya? Hampir nabrak ‘kan maksud lu?” Bana masih tertawa. Kemudian menghela napas panjang. “Gak heran sih Bang Jati marah-marah. Itu tuh, karena dia pengen lu gak membuat kesalahan. Ini emang terdengar klise, tapi sesuatu kayak gitu emang beneran ada.”
Fokus Bana tampak melayang jauh, meski dia masih bisa membagi konsentrasi dengan jalanan. “Bang Jati … gak bakal beneran marah kalo alasan yang mendasarinya bukan kita. Gue rasa omongan bapak itu bener, Bang Jati emang sosok ayah yang baik.” Dia lantas melirik Haw sekilas. “Gue yakin lu paham.”
Haw langsung menggerutu, “Dia bukan ayah gue!” Lantas melirik pemuda di sebelah dengan sinis. “Kalo lu mau jadi anak adopsinya, silakan sih.”
“Gue juga ogah!”
Meski bercanda dan seolah santai saja, tak bohong bahwa sanubari Haw bergejolak akibat ucapan Bana. Bisa-bisanya dia tak bisa cepat menerima semua seperti pemuda itu. Andai kemarin dia dan Jati tak menghampiri taman, gadis itu mungkin masih menggila bersama perasaannya sendiri.
“Haui, gue beneran minta maaf karena bikin lu khawatir. Tapi, gue pengen lu percaya … dan membiarkan gue melindungi kalian berdua, mau kayak dulu ataupun dengan cara-cara lain. Ngerti? Itulah yang gue inginkan. Lu mau mewujudkannya, ‘kan?”
“Yah …,” Haw duduk menyandar, “kelas nyetir kemarin, gak buruk-buruk amat sih.” Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat. Cahaya matahari menusuk kulit hanya terasa hangat dari sini lantaran terhalang permukaan kabin.
Haw yang hendak membiarkan dirinya berlanjut tenggelam dalam angan, tersentak saat teringat sesuatu. “Oh, ya. Buku Kinantan—”
“Lu masih mau bahas itu?” Bana mengangkat alis, sambil memutar setir sesuai belokan yang ditunjuk oleh aplikasi maps. “Kalo Bang Jati tahu, dia pasti langsung ngomel.”
“Mau gimana lagi? Gue kepikiran terus sama tulisan-tulisan di sana. Ganggu banget, tahu!” Haw meletakkan tangan di pinggang. “Mana bisa gue mengabaikan gitu aja?”
Bana mengenyit. “Yakin gak apa-apa, lu ngurusin buku itu terus?”
Haw bergumam panjang, bersedekap sambil memejam sesaat. Bila mengingat ucapan Jati hari lalu usai memarahinya habis-habisan di tengah hujan, sesuka lu dah …, “Secara gak langsung sih, iya.”