Haw melepaskan sabuk pengaman. “Sip! Pasti di sini!”
Menyadari bahwa mereka berada tepat di depan Polres Cilacap, Bana menjadi sedikit panik. Buru-buru menggeledah saku seraya gusar sendiri, “SIM gue mana? SIM gue mana? Parah nih … kenapa juga harus berhenti di sini?”
Haw turun dari kabin begitu saja, melangkah tanpa ragu di sepanjang trotoar Polres Cilacap. Halaman depan kantor tersebut luas lantaran bangunannya besar dan banyak. Beberapa motor khas berjajar di sana, satu dua polisi berseragam biasa tampak berjaga.
Seseorang dengan pakaian mencolok—karena sangat berbeda dibandingkan personel lain—berdiri di luar gerbang masuk Polres Cilacap. Sekian saat lalu, Sidden tak terlalu terlihat lantaran berdiri tepat di belakang mobil kepolisian yang terparkir di pinggir jalan.
Haw menghampiri Sidden, seragam Kepolisian Khusus dengan jas panjang dan baret itu tak pernah sekali pun membuat lelaki tersebut terlihat menawan di matanya. “Oi, polisi gadungan! Apa lagi ada tugas penangkapan?”
Mendengar suara cempreng cukup familiar, Sidden spontan berdecak kesal. Dia menoleh sesaat setelah memutar bola mata malas. Terlebih melihat Haw melangkah mendekat dengan lagak arogan, membuat suasana hati anjlok seketika. Anehnya, logat malas lelaki itu tak berubah, “Udah dibilang, jangan manggil gue kayak gitu.”
Haw santai-santai saja. “Tapi itu bener, ‘kan?”
“Enggak, lah.” Sidden menatap sinis. “Gue masuk Kepolisian Khusus karena emang pantas, tahu.”
“Udahlah, cukup kasih tahu gue apa kalian lagi ada tugas penangkapan seseorang! Terus ….” Haw terdiam sejenak, kemudian tertawa. Dia menatap lelaki itu dari atas ke bawah, sok curiga. “Pantes, kata lu?”
“Ogah, kenapa gue harus ngasih tahu. Terus…,” Sidden mengikuti gaya bicara gadis itu, “diam lu.” Mendapatinya tertawa—masih dibuat-buat—kian kencang, dia mulai tegas, “Diam lu!” Lelaki itu spontan mengangkat tangan setinggi dada, jemarinya mengepal.
“Oh! Oh!” Haw sedikit mencondongkan tubuh ke belakang. Dia lantas menyipit. “Bener ‘kan apa kata gue! Seseorang yang emang pantes jadi polisi, gak bakal mukul warga sipil sembarangan.”
“Ini karena lu ganggu pekerjaan polisi.” Sidden masih menahan logas malas khasnya—yang menjadikan lelaki itu tak terlalu terdengar mengerikan, “Pergi.”
Haw menatapnya sekian saat sambil sedikit memiringkan kepala. Lantas berucap dengan senandung kecil, mengejek, “Gak mau ….”
“Gue gak bercanda,” nada bicara Sidden akhirnya berubah, meski tetap rendah, tetapi terdengar lebih tegas dan serius. Dia mengeratkan jemari yang terangkat dan mengepal sejak tadi.
“Siapa takut?” Sebelah sudut bibir Haw naik. Suaranya melirih dan terkesan lebih mantap, tak lagi bercanda, “Maju, lu duluan kalo berani.”
Sesaat, tatapan Sidden terkunci pada gadis itu. Ada dua hal dalam benaknya saat ini; menilai apakah Haw serius atau bercanda, memilih antara bersabar sedikit lebih lama atau tidak. Berselang sebentar, keputusan telah bulat.
Kepalan terangkat sedikit lebih ke belakang, bersiap meluncur sekuat tenaga. Sementara tangan kiri secepat kilat bergerak, hendak meraih kerah baju Haw.
“Apaan ribut-ribut?”
Sidden terpaksa mengurungkan niat. Menghela napas gusar sambil membuang muka ke sembarang arah.
Harim datang dari halaman depan Polres Cilacap. “Sid, tahan diri lu. Setelah delapan tahun bertahan di Kepolisian Khusus, jangan sampai lu dikeluarkan gara-gara masalah sepele kayak gini.”