Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #40

39: Jati Diri


Eksekusi mati, katanya? Setelah terkejut mengetahui bahwa orang itu di foto adalah Jati, seorang buronan yang kabur, Bana dan Haw harus kian tersentak lantaran dia ternyata dihadapkan hukuman seperti itu. Mengapa?

Namun, bila dipikir, ini seharusnya tak terlalu mengejutkan. Bana telah bertanya-tanya sejak dulu dan kini semua terjawab. Hari lalu, Harim menyebut Jati bersaudara dengan Erik—si pembobol bank—lantaran keduanya sama-sama kriminal.

Di saat yang sama, Jati dapat dengan mudah menangkap orang itu, padahal polisi sampai harus membentuk formasi sedemikian rupa karena dia memahami pola pikir seorang kriminal, bahkan sanggup lolos dari penjara.

Kemudian, yang paling segar di ingatan, kemampuan Jati menghadapi beberapa orang sekaligus seraya menggendong Haw dengan dua tangan. Selama ini, dia bahkan sanggup melarikan diri dari kejaran dan pencarian polisi selama sekitar sepuluh tahun, tak heran bila hal tersebut tentu telah menjadi masalah kecil baginya.

Semua … menjadi jelas.

Bana tak bisa mengelak. Jangankan memiliki pembelaan untuk Jati, dia justru mengetahui sesuatu yang berbanding terbalik.

Harim menyipit, tak henti mengira-ngira apa yang ada di pikiran dua bocah itu sekarang. “Udah ingat? Kalian beneran … pernah lihat orang ini?”

Tidak. Mau bagaimana pun, Bana tak bisa mengatakan bahwa itu adalah Jati. Bukan karena dia masih ragu atau takut salah, melainkan belum siap untuk menerima siapa sesungguhnya pria muda itu.

Bana masih ingin percaya bahwa Jati masih menjadi si pria muda yang dikenalnya selama ini.

Dia tahu perbuatan ini salah, tetapi tak ada pilihan lain. “Kami—”

“Oh, ya,” Harim menyela. “Karena berurusan dengan polisi, lebih lagi Kepolisian Khusus, ada baiknya kalian gak berbohong sedikit pun. Kalo enggak, semua bakal makin runyam dan rasain sendiri akibatnya.”

Seketika Bana terdiam, tak berani lagi bersuara walau sedikit.

Sementara gadis di sebelah, perlahan-lahan auranya berangsur berbeda daripada pemuda itu. Dia menunduk sesaat, berat hati untuk melakukan apa yang ada di pikiran. Namun, kemudian sedikit mendongak, sekali lagi menatap foto tersebut.

Ini berat, tetapi tekadnya lebih bulat. Entah apa alasan pasti, tetapi Haw ingin bicara, meski lirih, “Jati ….”

Spontan Bana menoleh ke gadis itu, wajah paniknya kentara sekali, pucat dengan keringat dingin bercucur seketika. Sama sekali tak percaya bahwa sesuatu seperti itu didengar dari seseorang semacam Haw—maksudnya, dia seseorang yang bahkan pernah rela mati-matian membahayakan diri sendiri untuk Jati.

Harim bergumam singkat. “Gue gak denger, Bocah.”

Perlahan, Haw beralih menatap Harim. Mata bulat berbinar penuh semangat beberapa waktu lalu, hilang sudah. Digantikan oleh tatapan yang sulit diartikan. Dia tak tahu apa yang sedang dilakukan lantaran mana tindakan yang benar dan salah untuk sekarang saja sama sekali tak tahu.

Haw hanya … tak tahu, gadis itu sendiri tak tahu apa dilakukannya. “Orang ini … Jati, ‘kan?”

Harim tetap tenang, tetapi rautnya benar-benar sulit ditebak. “Lu gak lihat namanya?”

Bana dan Haw spontan memperhatikan kembali lembaran yang masih diangkat sang letkol tepat di depan wajah mereka. Bagian bawah tersisa sedikit ruang yang diisi tulisan, Karunanidhi Kin Dananjaya.

Keduanya lagi-lagi tersentak. Namun, kali ini, tak ada apa pun di pikiran mereka.

Bana terus memandang kertas itu. Berbagai kemungkinan berputar dalam benak, tetapi kepalanya tak cukup dingin untuk mampu memperkirakan salah satu yang paling sesuai. “Gimana bisa?”

“Kenapa? Padahal orang ini ….” Haw tak bisa berkata lebih jauh.

“Jati bukan semata semata-mata seorang kurir.” Harim meletakkan kertas di meja, tak jauh Bana dan Haw, dengan kasar hingga menimbulkan dentuman. “Kalo jadi kalian, gue pasti udah bertanya-tanya dari dulu, kenapa orang itu gak beli rumah.”

Harim duduk menyandar. Meletakkan dua siku di pegangan kursi, sedangkan jemarinya saling bertemu, membentuk sebuah candi. "Padahal, gak membeli rumah bukanlah satu-satunya pilihan yang bisa dia ambil."

Haw dan Bana seharusnya menyadari dari dulu, tetapi mereka tak pernah memikirkan itu. Mereka tahu, ini bak tamparan besar usai Harim berujar demikian. Namun, apa yang ada benak, sesuatu yang telah diukir bersama … lebih kuat.

Lihat selengkapnya