Tuan Lori

Adinda Amalia
Chapter #41

40: Jati, Bukankah Begitu Kau Bilang Dahulu?


Rembulan malam ini rasanya lebih gelap daripada biasa, padahal sedang menyala dengan bulatan sempurna. Angin dingin menusuk tulang kian menjadi-jadi saat Fero memasuki jalan kecil hanya dengan bangunan-bangunan sederhana di sisi kiri, sedangkan kanan berupa sawah seluas mata memandang.

Perlahan kecepatan truk melambat, seiring setir diputar sehingga roda-roda membawa kendaraan itu memasuki area luas dengan toko berjajar yang telah tutup. Tiang tipis dengan lampu hanya beberapa terpasang, bahkan tak semuanya berfungsi.

Ruko leter U melebar ke samping—searah dengan jalan—sejauh enam puluh meter, sedangkan panjangnya hanya dua puluh meter. Sisa ruang di bagian depan, diisi oleh deretan toko lagi, menyisakan sedikit ruang di sisi kanan-kiri sebagai jalan bagi pembeli untuk menuju tempat serupa di deretan belakang.

Jati memeriksa atap-atap bagian dengan toko, memastikan tak ada kamera pengawas. Kemudian, membawa truk berbelok ke kiri—memasuki jalan paving kecil di antara deretan toko depan dan belakang—agar menjelajah tempat itu lebih dalam. Kemudian berhenti tiga belas meter kemudian sehingga tersembunyi sempurna dari jalanan.

"Kalian juga turun." Jati meraih gagang pintu truk bagian dalam, tak peduli dua bocah itu sempat tersentak, kemudian langsung meninggalkan kabin. "Duduk di situ." Dia menunjuk halaman depan salah satu toko tutup, usai mereka menyusul.

Dengan kepala pening dan detak jantung tak kunjung kembali normal sejak tadi, Haw dan Bana menurut, walau perasaan sangat tak enak. Isi angan mereka tentang apa yang kira-kira hendak dilakukan Jati di tempat seperti ini, terlebih ketika telah cukup larut, hanyalah hal mengerikan.

Selama ini mereka lebih sering mampir di rest area untuk istirahat atau apabila memang sangat tak ada pilihan lain, setidaknya mereka akan berhenti di pinggir jalan yang tenang dan agak ramai untuk tidur.

Lantas kali ini, lebih lagi usai tuturan Harim siang tadi, buronan, delapan tahun, penjara, kabur, eksekusi mati, mengapa tiba-tiba dia memilih berhenti di tempat nyaris tanpa cahaya dan cukup tertutup ini? Apa yang orang ini rencanakan?

Sejurus kemudian, keduanya kompak tertegun saat menyadari bahwa Jati menggendong kucing kecil sekitar usia lima bulan, berbulu putih agak panjang. Hewan menggemaskan itu tampak tenang melingkar di telapak tangan Jati, sedikit-sedikit menutup mata saat puncak kepalanya dibelai perlahan.

Mengikuti arah pandang dua bocah itu, Jati akhirnya paham ke mana perhatian mereka tertuju. "Oh, ini …. Gue nemu kucing pas ngelewatin tol tadi. Kalian inget 'kan pas sore kita sempet berhenti bentar?"

Keduanya masih saja mengunci mulut, meski jawaban telah jelas, tentu tidak. Selama perjalanan, bahkan hingga beberapa saat lalu, Bana dan Haw terlampau kalut oleh pikiran sendiri.

Semula berdiri, Jati lantas duduk di depan mereka. Baru hendak memperbaiki posisi si kucing, hewan itu lebih dulu beranjak dari lengan pria muda itu, lantas lincah melompat ke pundaknya. Dia langsung menggigit gemas perban di balik kerah kemeja yang terbuka sedikit lantaran kancing teratas dibiarkan lepas.

Cekatan, Jati meraih tumbuh mungil kucing itu, lantas menariknya pelan. "Eh, turun, turun, Cing." Dia agak panik. "Kalo kertas ini sobek karena ulah taring lu, bahkan luka gue sampe balik lagi, lu harus gantiin gue dengerin omelan Bos!"

Luka?

Ingatan yang tenggelam jauh, seketika terangkat ke permukaan kembali. Sekian kilasan cepat nan singkat, tetapi sanggup menarik kembali emosi dalam yang meluap-luap, tergambar sempurna dalam angan.

Dentuman asing yang mengerikan itu.

Teriakan kencang Haw yang menembus lubuk dalam-dalam, “Jati!”

Lantas suara pria muda itu yang sangat lirih, saat duduk di atas ranjang rumah sakit dengan wajah pucat, “Gue gak apa-apa ….”

Satu yang lebih dari sempurna terulang kembali dalam angan bak mengalami sekali lagi: kaca depan truk retak, pecahannya berserakan ke mana-mana, satu cabang pohon besar menembus kabin, nyaris menusuk tubuh pria muda itu, sedangkan Jati sendiri, berada di depan mereka seolah ini hanya guyonan, padahal dia merentangkan tangan agar bocah-bocah itu tak terluka, selagi dia sendiri berbalut darah di sekujur tubuh.

Parahnya lagi, senyum tipis dengan wajah lega itu.

Rasanya seperti tercabik-cabik, sesuatu yang lebih menyakitkan memenuhi raga dua bocah itu saat ini. Setelah apa yang pernah terjadi, usai bagaimana mereka sekuat tenaga menyembunyikan raut sendu selama Jati berada di rumah sakit, bisa-bisanya sekarang justru berpikir buruk tentang pria muda itu?

Pengkhianatan, mereka nyaris melakukan tindakan keji itu. Keduanya merasa jauh lebih buruk. Sejak tadi apa yang dilakukan? Padahal, seharusnya ketiganya bisa segera bertengkar dan membagi tawa bersama kembali, seperti biasa.

Tanpa sadar keduanya sudah sibuk mengusap wajah, menghapus air mata yang tiba-tiba sudah ikut hadir begitu saja. Keduanya sama-sama menahan isak tangis, menunduk menyembunyikan muka menyedihkan.

Lihat selengkapnya