"Kunci Fero buat Jati …," wanita muda di meja informasi Kantor T-Grandis Express Cabang Brebes memeriksa layar komputer, lantas menatap pria muda itu sesaat setelahnya. "Gak ada.”
Jati yang semula sibuk memeriksa aplikasi maps, nyaris menjatuhkan ponsel. "Apa?"
"Anggota kami juga gak ada yang diminta nyiapin Fero buat Jati."
"Gak mungkin. Gue selalu gini di kantor cabang mana aja." Jati meletakkan dua tangan di atas meja informasi, menghadap seseorang di sana baik-baik. "Tanyain ke Bos."
Wanita muda itu sedikit mengangkat alis. "Iya, saya sudah menghubungi Pak Rawiteja tadi, katanya …."
"Jati? Oh, ya … jangan lakukan apa pun buat dia."
Jati langsung bersungut-sungut. "Lah kenapa?"
"Jati, jangan-jangan lu bikin Pak Rawiteja marah?" Wanita muda itu benar-benar tak terlihat ingin melakukan sesuatu.
"Enggak tuh!" Jati kian kesal. Dia mendecak, lantas membuang muka seraya menggerutu, "Dasar … ngapain sih tuh om-om!"
Meninggalkan gedung, Jati menghampiri Fero—yang sebelumnya dibawa dari Kabupaten Cilacap—di halaman kantor. Menghampiri dua orang di sana. “Bocah,” dia berubah serius sesaat setelah cukup dekat dengan mereka, “gue gak bakal tanya lagi, lho. Kalian … serius gak mau pulang?”
“Serius gak mau!” Garis wajah Bana seketika berubah menjadi benar-benar serius, padahal sesaat lalu sepertinya dia tertawa dan bercanda lepas dengan Haw.
Duduk di kursi kabin sebelah kiri dengan pintu terbuka, Haw menghadap samping—ke luar—seraya mengayun-ayunkan kaki. Dia menyipitkan mata. “Apa gue kelihatan kayak gak serius?”
Jati mengulum bibir, dia merasa tak enak akan keputusan mereka. “Bocah-bocah, situasi udah berubah! Hiddie bahkan terang-terangan di depan kalian kalo dia bakal bertindak lebih—”
Hewan menggemaskan kecil berbulu putih tiba-tiba lincah mengitari kaki Jati, entah sejak kapan dia datang. Suara khasnya terdengar familiar. Dia mendongak menatap pria muda itu sesaat, kemudian kembali mengusapkan telinganya.
Bana agak terkejut. “Kucing!”
“Yang kemarin!” Haw ikut antusias melihatnya.
Jati terkesiap bukan main, tak percaya akan reaksi dua bocah. Berdecak kesal, dia nyaris mengamuk lantaran mereka mengabaikan pembicaraan serius barusan begitu saja. Pada akhirnya, Jati menghela napas, berusaha menahan diri. “Kucing, ya … kalian lebih tertarik sama kucing.”
Haw sama sekali tak menggubris pria muda itu. Dia turun dari kursi kabin Fero sambil membawa jaket T-Grandis Express milik Jati, berusaha menarik perhatian di si kucing dengan tali yang ada di ujung pakaian tersebut.
Selagi gadis itu sibuk tertawa sendiri oleh tingkah si bola bulu, Bana melangkah untuk lebih mendekat pada Jati. Dia menjadi serius dan penuh perasaan. “Setelah berhasil menghindar selama delapan tahun, apa Bang Jati pikir bakal tiba-tiba ketangkap dengan gampangnya?”