“Sampai kapan mereka mau melakukan ini?” Memasuki bangunan kecil berisi sepetak ruang di tengah pemukiman lawas yang telah lama ditinggalkan, Karun asal memasukinya. Menutup pintu kembali dengan kencang, dia menyandar di sana seraya menstabilkan napas. “Gue bahkan sampai gak tahu sekarang lagi ada di mana.”
Merasa cukup tenang, remaja rambut acak-acakan itu beranjak duduk menyandar dinding yang berseberangan dengan pintu. “Capek …. Ke mana lagi harus pergi setelah ini? Makanan dan air gak ada.”
Karun memejam, menghela napas panjang. Hari ini, nyaris tak berhenti berlari. Terlampau seringnya mendengar, dia bahkan kini sudah bisa menyadari adanya sirine polisi dari sekian ratus meter.
Dari perkotaan padat sampai hutan terpencil, semua sudah pernah dijelajahi. Tak lain demi menghindari kejaran polisi. Usai namanya terpampang jelas nyaris di seluruh saluran berita televisi maupun koran, mana bisa dia hidup seperti anak-anak lain seumuran.
Tersangka utama, begitu kata-kata yang selalu hadir di sebelah namanya.
Dari celah dinding kayu, terselip tipis-tipis cahaya senja yang semakin habis dimakan gulita malam. Angin dingin menerobos—memaksa Karun melingkarkan tangan di kaki demi sedikit menghangatkan diri—sesekali menimbulkan deru yang entah mengapa terdengar mengerikan.
Malam ini Karun akan beristirahat di sini. Terakhir kali dia melihat polisi adalah sesaat sebelum senja, itu pun dari kejauhan. Setidaknya, jejaknya di sini tak akan tersingkap secepat itu.
Namun, perkiraan Karun salah.
Derap langkah lirih terdengar. Karun yang duduk sambil menenggelamkan wajah di antara dua lutut tertekuk, seketika bangkit. Dia menyisakan jarak satu setengah meter dari pintu. Tangan yang mengepal telah siap kapan pun orang di luar rumah tua ini mendobrak masuk.
Kaki bukan membentuk kuda-kuda, melainkan awalan lari. Karun tak ingin mempertaruhkan diri dengan terlibat perkelahian terlalu lama, jalan terbaik yang bisa dia ambil hanyalah kabur terus-menerus.
Langkah orang itu kian kencang. Namun, ada sesuatu yang aneh. Derapnya tak seperti sedang berhati-hati yang kerap dilakukan polisi. Dia berjalan pelan, tetapi juga sangat percaya diri.
Satu langkah kencang terakhir, menggema tiada di kepala Karun, hingga kemudian tak terdengar apa pun.
Pupil pemuda itu sedikit turun. Di celah pintu yang memancarkan hangatnya sore, sepasang bayangan kaki tampak jelas. Entah siapa dia, berdiri tepat di balik pintu. Meski terhalang kayu tua nan rapuh berbentuk persegi panjang, Karun bisa merasakan bahwa orang itu tersenyum tipis dengan makna yang sulit diartikan.
"Aku bukan polisi." Dari suaranya, dia seorang lelaki. Tak terdengar seperti seseorang yang telah melampaui usia kepala tiga. "Aku juga gak tertarik buat membawamu."
Mengatupkan gigi erat-erat, Karun kemudian menurunkan waspada seraya mengubah posisi kuda-kuda menjadi berdiri lebih santai.
"Aku cuma lagi melakukan pekerjaan kecil," orang itu melanjutkan. "Maukah kamu membantuku?"
Karun tak menyahut. Dia masih menimang-nimang isi pikiran orang itu.
"Bolehkah …," aura yang memancar darinya benar-benar acak, sulit dipahami, "aku membuka pintu?"
Karun berujar lirih, tetapi tegas, "Apa mau lu?"